Surabaya, Prosiar.com – Seolah tidak ada habisnya, PT Banyu Telaga Mas (PT BTM) diajukan permohonan PKPU untuk yang kedua kalinya. Sebelumnya PT BTM selaku termohon PKPU telah diajukan permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) oleh PT APM di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya.
Permohonan PKPU pertama itu dengan Nomor Register Perkara: 37/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Sby, yang mana dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan permohonan PKPU PT APM dinyatakan ditolak.
Kini PT BTM menjalani babak baru dengan diajukannya permohonan PKPU yang kedua kali oleh seorang oknum berinisial AI selaku pemohon PKPU dalam Perkara Nomor: 55/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Sby.
Sebagaimana diketahui, PT BTM sendiri merupakan perusahaan pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara, yang mana diduga menjadi target para mafia tambang untuk melancarkan aksinya melalui praktik Hostile Take Over (HTO).
Dilansir dari rilis Kantor Hukum GP Law Firm yang ditunjuk sebagai kuasa hukum PT BTM, bahwa praktik HTO merupakan cara konvensional yang biasa digunakan oleh mafia tambang. Lalu bagaimana praktiknya?
Salah satu praktik mafia tambang adalah melakukan upaya sedemikian rupa untuk mengambil alih perseroan pemilik sah pemegang IUP dengan menggunakan proses hukum yang seolah-olah legal melalui perjanjian-perjanjian yang dibuat. Tujuan akhirnya mengambil alih perseroan yang mempunyai IUP tersebut.
Dalam aksinya mafia tambang akan melakukan pendekatan kepada targetnya, biasanya pendekatan kepada pemegang saham mayoritas perseroan yang memiliki IUP dengan alih-alih menjadi bagian dalam manajemen perusahaan untuk memajukan kelangsungan usahanya.
Atau bisa juga dengan modus mengadakan perjanjian-perjanjian terkait kebutuhan perseroan, misalnya perjanjian tentang pekerjaan pengeboran lahan milik IUP perseroan, kerjasama pengolahan tambang, dan lain sebagainya.
Perjanjian itu dibuat sedemikian rupa sehingga perseroan yang memiliki IUP tersebut mempunyai kewajiban/utang atas perjanjian-perjanjian tersebut. Selanjutnya perseroan yang tidak dapat membayar kewajibannya akan dipaksa menjual sahamnya bahkan dipaksa melakukan akuisisi dengan perseroan lain.
Dalam babak baru kasus PT BTM kali ini, Pemohon PKPU mendalilkan mempunyai piutang kepada PT BTM atas perjanjian kerjasama terkait pertambangan dengan nilai piutang sebesar Rp 22.448.722.000.
Terhadap perjanjian tersebut PT BTM sama sekali tidak mengetahui karena dalam perjalanan kepengurusannya PT BTM telah mengalami beberapa kali perubahan kepengurusan.
Menanggapi aksi mafia tambang yang tidak ada habisnya itu, Runik Erwanto dari Firma Hukum GP Law Firm selaku Kuasa Hukum PT BTM, memberikan masukkan agar perusahaan segera melakukan audit investigasi jika terdapat perjanjian-perjanjian yang tidak diketahui.
“Karena hal tersebut ada indikasi perbuatan organ perusahaan yang melampaui batas kewenangannya (ultra vires) yang tentunya dapat merugikan perusahaan. Jika tidak segera dilakukan akan semakin sulit penanganannya,” terang Runik pada, Senin (19/6/2023).
Menurutnya, rekayasa utang dengan praktik HTO merupakan cara-cara yang sangat lumrah dilakukan oleh mafia tambang, banyak yang terjebak dengan iming-iming dapat untung besar.
“Apalagi dengan adanya upaya hukum PKPU yang tidak mengenal asas nebis in idem, permohonan PKPU dapat diajukan berapa kalipun. Dengan adanya perjanjian-perjanjian yang tidak diketahui oleh perusahaan, ini ada indikasi perbuatan ultra vires dari organ perusahaan itu sendiri,” sebutnya.
Waspada, Permainan Mafia Tambang di Kaltara Dibalik Rekayasa Permohonan PKPU ke-2 Terhadap PT BTM Puluhan massa menggelar aksi kewaspadaan terhadap mafia tambang di depan PN Surabaya saat sidang permohonan PKPU pertama terhadap PT BTM/ Istimewa
Dalam babak baru kasus PT BTM kali ini, Pemohon PKPU mendalilkan mempunyai piutang kepada PT BTM atas perjanjian kerjasama terkait pertambangan dengan nilai piutang sebesar Rp 22.448.722.000.
Terhadap perjanjian tersebut PT BTM sama sekali tidak mengetahui karena dalam perjalanan kepengurusannya PT BTM telah mengalami beberapa kali perubahan kepengurusan.
Menanggapi aksi mafia tambang yang tidak ada habisnya itu, Runik Erwanto dari Firma Hukum GP Law Firm selaku Kuasa Hukum PT BTM, memberikan masukkan agar perusahaan segera melakukan audit investigasi jika terdapat perjanjian-perjanjian yang tidak diketahui.
Gerebek Tambang Ilegal di Lereng Merapi, Polresta Magelang Amankan 5 Tersangka
“Karena hal tersebut ada indikasi perbuatan organ perusahaan yang melampaui batas kewenangannya (ultra vires) yang tentunya dapat merugikan perusahaan. Jika tidak segera dilakukan akan semakin sulit penanganannya,” terang Runik pada, Senin (19/6/2023).
Menurutnya, rekayasa utang dengan praktik HTO merupakan cara-cara yang sangat lumrah dilakukan oleh mafia tambang, banyak yang terjebak dengan iming-iming dapat untung besar.
“Apalagi dengan adanya upaya hukum PKPU yang tidak mengenal asas nebis in idem, permohonan PKPU dapat diajukan berapa kalipun. Dengan adanya perjanjian-perjanjian yang tidak diketahui oleh perusahaan, ini ada indikasi perbuatan ultra vires dari organ perusahaan itu sendiri,” sebutnya.
Untuk itu, lanjut Runik, perusahaan perlu melakukan audit investigasi guna mencari kebenaran yang ada, jika tidak dilakukan akan sulit penanganannya,” imbuhnya.
Menanggapi adanya permohonan PKPU terhadap PT BTM yang kedua kalinya tersebut, W. Sandhya Y.P. yang juga advokat dari GP Law Firm memberikan penjelasan bahwa tindakan ultra vires oleh organ perusahaan tentunya merugikan suatu perusahaan itu sendiri.
Jika terdapat utang atas tindakan ultra vires tersebut maka organ perusahaan yang melakukan tindakan ultra vires harus bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang ditimbulkan. Sehingga terhadap piutang yang diajukan kepada perusahaan harus didudukkan dulu permasalahannya, bukan semata-mata menjadi utang.
“Utang-utang yang tidak diketahui oleh perusahaan terdapat indikasi adanya tindakan ultra vires dari organ perusahaannya itu sendiri, coba baca Pasal 97 Undang-Undang PT. Jika memang harus bertanggung jawab maka organ perusahaan yang ultra vires-lah yang harus bertanggung jawab, bukan perusahaannya yang bertanggung jawab,” tandasnya.
Tim prosiar.com