Ambon – Menyikapikonflik yang terjadi di Pulau Haruku, antara Negeri Pelauw/Ory dan Kariu, Tim Advokasi Masyarakat Negeri Pelauw/Ory mengeluarkan catatan klarifikatif (30/01). Dalam catatan 28 halaman itu Tim berharap publik atau khalayak dapat melihat persoalan dengan proporsional dan objektif.
Koordinator Tim, Dr. Hadi Tuasikal mengawali catatan Klarifikasi menyampaikan rasa duka yang mendalam kepada semua korban, baik moril maupun materil, akibat peristiwa yang terjadi pada tanggal 26 Januari 2022 di Pulau Haruku.
Selanjutnya pihaknya menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak karena satu peristiwa yang terjadi diluar kendali, menyebabkan kesedihan, ketidaknyaman, bahkan kemarahan. “Semua ini menjadi pelajaran penting bagi kita, dan semoga tak lagi terjadi, kapanpun dan dimanapun”, jelasnya.
Seperti diberitakan media, konflik yang terjadi antara Negeri Pelauw/Ory dan Negeri Kariu, ratusan warga Kariu harus mengungsi karena sejumlah rumah/bangunan terbakar, sementara 3 (tiga) orang warga Negeri Pelauw meninggal dunia. Tercatat pula sejumlah orang terluka dari kedua pihak yang bertikai, maupun dari aparat keamanan.
“Satu peristiwa yang tentu tidak diinginkan siapapun, karena memang secara empiris atau fakta sejarah membuktikan kepada kita, tak ada yang diuntungkan dari situ konflik. Kalah menjadi abu, menang pun hanya jadi arang, sama-sama tak ada artinya”, tegas tim advokasi dalam catatan klarifikasi.
Tim Advokasi Masyarakat Negeri Pelauw/Ory selain menyampaikan sejarah singkat dan sejumlah kronologis peristiwa serta fakta-fakta terkait hubungan relasi masyarakat Pelauw/Ory dengan Kariu termasuk konflik yang mengiringinya sejauh ini, juga menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi.
Menurut Tim, meski konflik yang terjadi adalah antara dua Negeri yang berbeda agama, namun perbedaan agama sebenarnya bukan pencetus terjadinya konflik sosial itu. Dalam banyak kasus yang sering terjadi, konflik antar penganut agama yang berbeda adalah dampak negatif dari rentetan konflik yang terjadi sebelumnya.
Sejumlah konflik justru menunjukan gagalnya peran dan tanggung jawab negara. Baik itu dalam penegakkan hukum maupun dalam mengupayakan dan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mereduksi potensi konflik.
Padahal jika mau dilihat secara empiris, konflik sosial yang ada di masyarakat tidak terjadi begitu saja. Ada satu atau lebih pemicu dalam masyarakat tersebut yang menyebabkan antar individu atau kelompok bisa terlibat perselisihan dan konflik.
Itu artinya sangat mungkin konflik bisa dicegah atau diantisipasi bila instrumen Negara, terutama aparat keamanan/penegak hukum dapat mengambil langkah-langkah proaktif dalam menyelesaikan perbedaan pendapat atau kepentingan antara dua kelompok, kemudian membangun konsensus, sehingga konflik atau pertikaian tak berujung pada konflik sosial yang luas dan destruktif.
Selanjutnya dalam catatan klarifikasi, tim advokasi menegaskan, lambannya penanganan berbagai persoalan, potensi konflik dan konflik, seperti sengketa agraria, maupun peristiwa pidana lainnya, terutama di wilayah-wilayah bekas konflik menunjukkan negara kurang sensitif dan proaktif dalam mencegah terjadinya konflik sosial antar kelompok-kelompok yang bertikai itu.
Fenomena ini, mengindikasikan gagalnya tanggung jawab negara dalam mencegah terjadinya konflik sosial yang luas dan eksesif. Negara gagal menjalankan kewajiban melindungi warga Negara atau obligation to protect.
Untuk diketahui, salah satu kewajiban Negara adalah melindungi. Yakni, kewajiban Negara agar bertindak aktif untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Negara berkewajiban mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua HAM oleh pihak manapun.
“Itu artinya, pelanggaran karena pembiaran (by omission) terjadi ketika Negara tidak melakukan sesuatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum. Kegagalan Negara tentu perlu ditandai dan dicatat, bahkan ditagih konsekuensi logisnya”, urai mereka.
Dalam konteks konflik antara masyarakat Negeri Pelauw dan Kariu, dimana ketegangan atau konflik telah berlangsung lama, masing-masing pihak juga telah melaporkan persoalan hukum kepada pihak berwajib atau kepolisian. Namun pada kenyataanya hingga konflik sosial atau bentrokan terjadi, tak ada respon sebagai kewajiban penegakan hukum yang tunjukan oleh Negara.
Negara seolah membiarkan potensi konflik tetap mengemuka dan pada akhirnya menjadi konflik sosial yang destruktif. Peristiwa yang mestinya dapat dicegah akhirnya terjadi, Negara gagal melindungi warga Negara.
Adapun Kesimpulan dan Rekomendasi Tim Advokasi Masyarakat Pelauw/Ory adalah sebagai berikut:
Kesimpulan:
1. Konflik yang terjadi antara masyarakat Negeri Pelauw-Ory dengan masyarakat Kariu bukanlah konflik berlatar belakang Suku, Agama, Ras (SARA) melainkan konflik yang terjadi karena perselisihan atas kepemilikan Hak Ulayat atau konflik Agraria.
2. Konflik antara masyarakat Negeri Pelauw-Ory dengan masyarakat Negeri Kariu adalah konflik yang terjadi karena otoritas keamanan lambat atau gagal menyelesaikan dan mencegah terjadinya potensi konflik, termasuk melalui penegakkan hukum yang cepat, responsif dan transparan. Hal ini terlihat jelas, dari sejak kasus sengketa mulai mencuat hingga adanya pelaporan ke polisi, tidak kunjung ditangani atau diselesaikan hingga hampir 1 tahun lamanya.
3. Patut diduga ada kepemilikan dan penggunaan senjata api oleh warga, juga penyalahgunaan prosedur dalam penggunaan senjata api oleh aparat keamanan. Hal ini terlihat jelas dari tembakan aparat bukan untuk menghalau atau membubarkan masa, melainkan tembakan langsung diarahkan kepada warga. Tiga warga Pelauw yang meninggal akibat luka tembak memperkuat dugaan atau indikasi tersebut.
4. Hingga terjadinya konflik antara masyarakat Negeri Pelauw-Ory dengan masyarakat Negeri Kariu patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM oleh Negara karena adanya pembiaran (by omission). Negara gagal mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum.
5. Daerah-daerah bekas konflik yang memiliki potensi terjadinya kembali konflik belum dilihat sebagai daerah rawan konflik oleh Negara sehingga penanganannya masih standar, lamban dan tak responsif.
Rekomendasi:
1. Merekomendasikan kepada Negara dalam hal ini pemerintah untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan laten di masyarakat terutama yang terkait dengan sengketa Hak Ulayat atau konflik agraria.
2. Perlu segera dilakukan upaya investigasi lebih lanjut untuk melihat keterlibatan warga dalam kepemilikan dan penggunaan senjata oleh warga termasuk penyalahgunaan prosedur penggunaan senjata oleh aparat keamanan.
3. Adanya indikasi pelanggaran HAM, karena pembiaran by omission yang harus diungkap lebih jauh dengan memeriksa otoritas keamanan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan warga Negeri Pelauw/Ory dan Kariu, sejak pertama kali kasus di Ua Rual mengemuka dan dilaporkan oleh masyarakat.
4. Merekomendasikan kepada daerah-daerah bekas konflik bila ada persoalan hukum terutama sengketa antar warga/negeri untuk dapat ditangani secara segera, cepat dan responsif oleh aparat keamanan terkait.
5. Penempatan dan keberadaan anggota TNI/Polri di berbagai daerah di Maluku terutama daerah-daerah rawan konflik, harus bisa dievaluasi sehingga tidak ada aparat yang dalam bertugas cenderung memihak pada satu daerah/negeri dan diskriminatif atau tidak berlaku adil pada daerah/negeri lain.
Tim Advokasi Masyarakat Negeri Pelauw/Ory
Dr. Hadi Tuasikal, SH, MH (Koordinator)
Troy Latuconsina, SH
Abdul Haji Talaohu, SH
Roholessy Tuasikal, SH.
Syarif Hasan Salampessy, SH
Halim Latuconsina, SH
Samang Talaohu, SH
Ahmad Talaohu, SH
Editor: RB. Syafrudin Budiman SIP