Prosiar, Jakarta – Kegiatan Napak Tilas Rasul Jawa (NTRJ) yang digagas dan dilaksanakan oleh Persatuan Wartawan Nasrani (PEWARNA) Indonesia pada 28 Maret – 6 April 2022 nanti salah satu sponsornya adalah Sekolah Tinggi Theologi (STT) LETS (Lighthouse Equiping Theological School) yang ada di Kota Bekasi tepatnya Gedung Rhema lt.2. Bekasi Selatan.
Terkait kegiatan NTRJ ketua STT LET’S Pdt. Dr. Ir. Rahmat Manullang, M.Si, Selasa 22 Maret 2022 ditemui media menyampaikan beberapa hal. Berikut kutipan hasil wawancara media dengan Rahmat Manullang.
Kegiatan NTRJ ini sangat baik untuk kita mengingat sejarah sebagai menemukan kebenaran di hari ke depan. Bagian dari upaya meluruskan bahwa agama Kristen bukanlah agama”import” tapi agama lokal. Dengan adanya NTRJ pikiran kita terbuka bahwa ke Kristenan adalah milik kita sehingga kedepannya timbul penghargaan kepada umat Kristen untuk berkarya bagi bangsa.
Saya sangat mendukung kegiatan Napak tilas ini. Jadi kita tahu siapa sebagai perintis yang harus kita hargai. Karena dosa terbesar adalah ketika kita tidak menghargai para pendiri. Ibarat “air susu di balas air tuba”. Kerapkali penghormatan diberikan saat seseorang masih berkiprah, dan akan hilang saat sudah tidak ada. Padahal kita tahu adanya hari ini karena hari kemarin. Hari ini terjadi semisal kebangkitan rohani, jangan lupa sudah ada orang-orang yang sudah menabur bukan hanya dengan berkeringat tapi juga pengorbanan darah. Kita harus jujur dengan sejarah, jangan sombong dengan pencapaian hari ini. Jikalau hari ini adalah tuaian. Tidak akan pernah ada tuaian tanpa ada yang menabur. Dan yang menabur ini ada sejarahnya. Tidak melepaskan apa yang terjadi hari ini dikarenakan proses yang terjadi di masa lampau. Dan belajar sejarah paling baik itu dari Alkitab.
Sejarah Pekabaran Injil diTanah Jawa menyebutkan diantaranya adanya penggunaan kearifan budaya lokal dalam penyebarannya semisal melalui wayang kulit, ketoprak, ludruk dan sebagainya.
Menurut Rahmat Manullang gereja harus menjawab budaya di masyarakat bukan bersikap esklusif. Tapi perlu juga kita waspadai ada budaya yang mengandung unsur penyembahan berhala dan ini yang tidak boleh dilakukan. Keteladanan yang dilakukan para “rasulJawa” tentang komitmen. Memangnya gampang mengubah kebiasaan sebuah desa,? Dan gereja harus menyadari perubahan peradapan di masyarakat. Tapi kesalahan kita terlalu esklusif hanya untuk diri kita dengan mengabaikan budaya dimasyarakat dengan alasan takut tercemar. Kehati-hatian bukanlah ketakutan dengan menjauhkan diri dari masyarakat. Pandemi ini semestinya menjadi evaluasi diri kita untuk menjadi gereja yang rasuli yang Tuhan maksudkan.
Ketua STT LETS Rahmat Manullang berpesan bagi Pewarna Indonesia dalam melakukan Napak Tilas ini bisa spesifik dalam menyampaikan fakta sejarah yang bersesuaian dengan literatur yang ada. Menuliskan yang sesuai dengan faktanya. Bisa lakukan pemetaan atau mapping mana yang diungkapkan secara utuh. Selain menggali informasi juga harus berbuat sesuatu semisal memberi perhatian pada makam para tokoh ini yang kondisi hancur, dan bisa menemukan siapa keturunannya. Yang menjadi pewaris dari para tokoh ini. Sikap bakti ini untuk menghargai para perintis ini. Perlu juga diungkapkan bagaimana strategi para perintis ini dalam pemuridan yang bukan hanya mengandalkan khotbah semata, namun menyentuh kebutuhan masyarakat. Menggali pelayanan yang kontekstual para perintis ini.
Menghargai leluhur yang tidak diartikan untuk penyembahan berhala.
Rahmat Manullang juga berpesan agar literasi terkait sejarah Pekabaran Injil bisa semakin di tingkatkan di sekolah-sekolah teologia sebagai karya skripsi, tesis dan buku. (red)
Editor: GD