Prosiar, Jakarta – Sebuah film documenter yang bercerita tentang nasib anak-anak yang lahir dipenjara besutan sutradara muda Lamtiar Simorangkir menarik bagi tiga lembaga antaranya Yayasan Komunikasi Indonesia, PNPS GMKI dan Pasca Sarjana Universitas Kristen Indonesia.
Berangkat dari ketertarikannya flim yang diberi judul Invisible Hopes ini tiga lembaga tersebut menggelar nonton bareng di Bioskop XXI Metropole bilangan Cikini Kamis 1 September 2022, kemudian dilanjutkan dengan diskusi di Kampus Pasca sarjana UKI Diponegoro.
Dr. Hulman Panjaitan SH., MH wakil rector UKI, setelah nonton bareng mengatakan UKI sebagai kampus kasih dan kampus bhineka tetap mengharapkan kerjasama seperti ini antara YKI dan PNPS GMKI dalam bentuk Pengabdian Masyarakat (PKM) sebagai tridharma perguruan tinggi.
Seperti dengan apa yang kita saksikan saat nonton bareng film Invisible Hopes karya Lamtiar Simorangkir yang notabene aktivis GMKI Pekan Baru ini, sebagai kampus terutama Fakultas Hukum film ini menjadi kontribusi besar. UKI i bisa mengambil kebijakan mengambil empati, misalnya tentang kebijakan hukum pidana jika ada orang yang hamil 6 bulan lalu mendapat vonis hukuman bisa ditunda dulu sampai anaknya lahir hingga 3 bulan, ini hanya contohnya saja.
Namun sekali lagi dengan apa yang dilakukan saat nonton bareng bekerjasama dengan tiga lembaga ini Hulman mengajak ke depan mari terus bersinergi untuk kebaikan bangsa dan Negara. Sementara Prof. Dr. dr. Bernadetha Nadeak, MPd, PA direktur pasca sarjana Hukum UKI sangat appreciate karena behind the scene kondisi anak-anak yang lahir dalam penjara memprihatinkan sekali.
Untuk itu lanjut Prof Bernadetha UKI baik secara hukum memang sangat tepat namun demikian juga dari sisi kesehatan dan fsikologi ibu dan anak, mengangkat PKM UKI di bidang ilmiahnya baik pendidikan dan juga hukum, karena UKI sendiri boleh dikatakan bergerak PMK di masyarakat dilintas ilmu.
“Setelah melihat kondisi anak-anak yang lahir di penjara dengan segala dinamika yang dialaminya, Pasca sarjana UKI akan segera menindaklanjuti”, tandas Prof Bernadetha Nadeak sembari mengucapkan terimakasih kepada ibu Produser Lamtiar Simorangkir mantab.
UKI nonton dan berdiskusi film ini sebagai pengabdian masyarakat. Terimaksih untuk program magister hukum yang sudah mengadakan acara ini. Biar hal seperti ini diitindaklanjuti dengan tentu dengan arahan rektor dan warektor akademik UKI. Ladang kajian buat dosen.
Sedangkan Lamtiar Simorangkir sutradara dan prosuder. Lam Horas Film sebuah komunitas dan perkumpulan mengangkat film tentang persoalan masyarakat kita. Sebagai filmmaker bertujuan menolong Ibu dan anak lahir yang dibesarkan di penjara.
“Saya membuat film ini, bukan untuk mencari kesalahan pihak tertentu, namun bertujuan memperbaiki kondisi terutama anak-anak di penjara. Tentang cerita pengalaman Lamtiar saat riset di Penjara Semarang, ada seorang ibu hamil dan terkesan LP (negara) tidak siap.
Kembali melalui film ini Lamtiar merasa terpanggil menolong narapidana hamil dan anak-anak, hingga mendapatkan perlakuan yang terbaik. Disisi lain juga ingin adanya perubahan di Lembaga-lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia.
Ketika ditanyakan saat mengambil gambar Lamtiar menegaskan selama produksi film ada 40 ibu hamil dengan 17 kelahiran selama shooting berlangsung. Jika di awal-awal gambar agak goyang memang ruang terbatas dan yang mengambil gambarpun dirinya sendiri, ini sebab sudah ada perjanjian dengan Ibu Kalapas dan Ibu Rutan fokus ibu hamil dan anak saja.
Setelah nonton bareng diskusipun berlangsung seru membahas tema terkait nasib perempuan dan anak yang lahir di penjara menghadirkan narasumber sebagai pembahas berlangsung di Aula Pasca Sarjana Kampus UKI Diponegoro antara lain Lamtiar Simorangkir Dr. Aartje Tehupeiory, S.H.,M.H., CIQAR.,CIGNR, Pdt Sylviana Apituly dan Dr. Bernard Nainggolan.
Dr. Bernard Nainggolan Ketua Yayasan Komunikasi Indonesia saat menyampaikan padangannya saat diskusi, film ini tidak biasa-biasa saja namun memiliki kekuatan terutama menyampaikan pesan penderitaan perempuan dan anak di penjara. Menonton film ini sama seperti menonton diri sendiri. Terutama kaitannya dengan pengarusutamaan gender dan perlindungan anak.
“Saya kira kita bukan lagi bicara law of book tapi law in action. Secara teoritis bagaimana UKI bisa bicara gerakan hukum terkait bias gender yang kita konkritkan hari ini,” tanggapnya.
Karena YKI bergerak dalam gerakan politik, bahwa hasil kerja Lamtiar Simorangkir tidak cukup hanya jadi tontonan semata tetapi harus berbuat sesuatu terkait nasib ibu hamil dan anak di penjara. Maka gerakan-gerakan politik akan kita lakukan di YKI.
“Hukum tidak hadir di ruang hampa, membicarakan ibu dan anak di penjara, itu bagian perjuangan. Lewat film ini kita seharusnya nonton diri sendiri,” tutupnya.