Prosiar, Jakarta – Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, akan menjadi keynote speaker pada konferensi internasional bertajuk Religious Freedom, Rule of Law, and Cross-cultural Religious Literacy, Selasa (13/9). Rencananya, konferensi yang digelar secara daring selama tiga hari (13 – 15 September 2022) tersebut akan menghadirkan Menkopolhukam dan Menteri Agama RI serta pelbagai pemangku kepentingan baik nasional maupun internasional.
Pada pidato kuncinya yang disampaikan pada hari pertama kegiatan konferensi internasional, Menteri Hukum dan HAM akan mengangkat tema terkait “Pentingnya Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum di Indonesia.” Tema tersebut dipilih sebagai bentuk penekanan akan pentingnya keterkaitan antara kebebasan beragama dan supremasi hukum.
Dengan menggunakan perspektif hukum nasional dan instrumen internasional, akan diulas secara mendalam mengenai sejumlah tantangan dan dinamika implementasi kebebasan beragama di tanah air. Di tengah tantangan yang sangat dinamis di masyarakat, pembangunan dan pelaksanaan supremasi hukum telah dipandang menjadi pekerjaan rumah yang terusmenerus mesti dibenahi dan ditingkatkan, tidak terkecuali terkait isu kebebasan beragama.
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi menyampaikan bahwa ”Negara tidak bisa melarang aliran atau agama apapun yang masuk dan berkembang di Indonesia sepanjang sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak menyinggung prinsip dan kepercayaan umat agama lainnya. Pasal 18 Deklarasi Universal HAM menyatakan setiap orang berhak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama, selaras dengan UUD NRI 1945 yang menempatkan HAM dalam porsi yang cukup signifikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A sampai 28J.” Pasal 28E ayat satu menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat dua UUD NRI 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas negara untuk melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan pemahaman masyarakat akan pentingnya kebebasan beragama sebagaimana dilindungi Konstitusi adalah modal penting bagi kemajuan bangsa Indonesia yang majemuk di tengah meningkatnya tantangan polarisasi di dunia. Dalam konteks itu, konferensi internasional yang diadakan Kemenkumham bersama Institut Leimena bertujuan mendorong sinergi negara dan masyarakat dalam membangun budaya yang toleran, menjunjung tinggi supremasi hukum, serta menghindari perilaku yang berpotensi memecah belah.
“Negara dan masyarakat sipil diharapkan dapat bekerja sama menjadi penggerak utama dalam memperkokoh supremasi hukum untuk melindungi dan memajukan kebebasan beragama sesuai amanat UUD 1945,” kata Matius.
Matius menjelaskan konferensi internasional merupakan implementasi Perjanjian Kerja Sama antara Kemenkumham dan Institut Leimena pada 8 Juni 2022. Acara ini bagian dari program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang telah dimulai Institut Leimena sejak 2021 bersama berbagai mitra nasional dan telah diikuti lebih dari 2.400 guru dari 33 provinsi, melalui pelatihan, lokakarya dan konferensi internasional.
Pada hari pertama, selepas pidato kunci yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM, akan diselenggarakan diskusi panel yang menghadirkan Menteri Agama RI dan Imam Besar Masjid Istiqlal, serta sejumlah pakar lainnya sebagai narasumber.
Sementara itu, pada hari ke-2, dijadwalkan Menkopolhukam RI, Mahfud MD, akan turut menyampaikan pidato kunci dengan mengangkat tema Mengukuhkan Martabat Manusia dalam Masyarakat Plural.
Sebagai informasi acara konferensi berskala internasional ini terselenggara atas kerja sama antara Kementerian Hukum dan HAM dan Institut Leimena didukung oleh Templeton Religion Trust. Acara tersebut dapat disaksikan secara terbuka oleh semua kalangan termasuk awak media. (Kfs)