Aliansi Relawan Prabowo Gibran Minta Presiden Berantas Mafia Tanah di Labuan Bajo Manggarai Barat 

Prosiar.com, Labuan Bajo – Usai Muhamad Rudini dan Mikel Mensen melaporkan adanya penyerobotan tanah 11 hektar di Keranga, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusantara Tenggara Timur (NTT) ke Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara Jakarta, Selasa (10/12/2024). Yang mana di kawal  Kordinator Nasional Aliansi Relawan Prabowo Gibran (ARPG) Syafrudin Budiman, SIP dalam memperjuangkan hak tanahnya yang dirampas dan diserobot oleh terduga mafia tanah.

Relawan ARPG terus akan mendampingi Muhamad Rudini dan Mikel Mensen menguraikan fakta baru, sesuai surat dari Jaksa Agung Muda Intelejen Kejaksaan Agung RI pada 23 Agustus 2024 kepada Bupati Manggarai Barat.

Dimana dijelaskan bahwa, agar Bupati Manggarai Barat melakukan pengawasan terhadap kegiatan PT. Bumi Indah Internasional dalam melakukan kegiatan usaha. Sesuai dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR). Sehingga investasi yang dilakukan tidak terdapat perbuatan melawan hukum.

“Dalam surat Jaksa Agung Muda Intelejen Kejaksaan Agung RI disampaikan bahwa fakta Berita Acara Permintaan Keterangan kepada Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat (tanggal 29 Mei 2024). Dimana proses perubahan hak belum dikoreksi oleh Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat ada pelanggaran administrasi,” kata Muhamad Rudini didampingi Syafrudin Budiman Kornas ARPG menjelaskan kepada media, Kamis (12/12/2024) di Labuan Bajo.

Lanjutnya, ditemukan bahwa tidak ada persetujuan dan ditandatangan dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat, untuk proses perubahan/penurunan Hak terhadap SHM no. 2545 atas nama Maria Fatmawaty Naput. Namun faktanya malah berubah menjadi SHGB No. 176 an Maria Fatmawaty Naput dalam aplikasi KKP Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat.

Menurut Rudini sapaan akrab petani biasa ini, sosok Pengusaha Santosa Kadiman adalah pemilik Hotel St. Regist, Labuan Bajo dan menjabat Direktur Utama PT. Bumi Indah International sebagaiman surat Jamintel Kejagung RI. Ia diduga adalah penadah tanah bodong di Labuan Bajo, diduga mafia tanah, diduga biang kerok sengketa tanah di Labuan Bajo dan lainnya.

“Santosa Kadiman adalah diduga oligarki dan aktor utama terkait penyerobotan tanah milik almarhum Ibrahim Hanta yang saat ini diurus saya (red-Rudini dan Mensen). Apalagi satgas mafia tanah Kejagung RI sudah berkirim surat ke Bupati Manggarai Barat mengenai PT. Bumi Indah International untuk ditinjau keberadaannya, sehingga tidak melakukan perbuatan melawan hukum,” tandas Rudini.

Kata dia, rinciannya Santosa Kadiman adalah Direktur Utama PT. Bumi Indah International, Pemilik Hotel ST. Regist Labuan Bajo. Santosa Kadiman juga adalah pembeli tanah 40 hektar di Keranga Labuan Bajo Mabar NTT melalui Notaris Billy Ginta, Labuan Bajo, akte no. 5 tanggal 29 Januari 2014.

“Santosa Kadiman terlibat dalam PT Bumi Indah Internasional sebagai Dirut PT Bumi Indah Internasional adalah salah satu perusahaan yang aktif dalam proyek pembangunan hotel dan vila berbintang di Labuan Bajo dan beberapa destinasi pariwisata di Indonesia,” jelas Rudini.

Kemudian katanya, kenyataan kebenarannya adalah Santosa Kadiman dan keluarga Niko Naput dkk diduga bersekongkol jahat dan diduga memanipulasi jahat untuk mengambil 11 hektar tanah ahli waris almarhum Ibrahim Hanta.

“Ada statemen Santosa Kadiman saat dipanggil Kejagung RI, dimana ia mengaku adalah korban pembelian tanah bodong dan merasa ditipu. Padahal sudah 10 tahun kasus ini berjalan, pihak Santoso Kadiman tidak berani laporkan Niko F. Naput dkk ke kepolisian. Hal ini sungguh licik dan seolah tidak tahu-menahu soal asal-usul tanah tersebut,” ungkap Rudini dengan nada kesal.

Penyerobotan Tanah Sudah Berlangsung 10 Tahun Lebih

Keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta telah menemukan fakta-fakta baru terkait dugaan praktik mafia tanah seluas 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Tanah ini diklaim oleh Niko F. Naput, yang kemudian menjualnya kepada Santosa Kadiman selaku Direktur PT Bumi Indah Internasional.

Kuasa Hukum Suwandi Ibrahim/Muhamad Rudini ahli waris Ibrahim Hanta, DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H. pada Jumat, (7/6/2024) lalu mengungkapkan fakta-fakta baru ini saat persidangan pada 6 Juni 2024 di Pengadilan Negeri Labuan. Dimana ada beberapa kejanggalan terungkap, termasuk pembuatan akta PPJB pada tahun 2014 oleh Notaris Billy Yohanes Ginta, S.H., M.Kn., yang diduga menggunakan dokumen kepemilikan tidak sah.

“Adanya dokumen akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) oleh Notaris Billy Yohanes Ginta dengan menggunakan dokumen surat kepemilikan tanah yang tidak sah antara Niko Naput (pihak penjual) dan Santosa Kadiman (red-pihak pembeli) seluas 40 Ha yang didalamnya termasuk tanah seluas 11 Hektar yang saat ini sedang bersengketa antara pihak ahli waris alm. Ibrahim Hanta dan Niko Naput bahkan sebagian dari 40 hektar PPJB tersebut diduga termasuk tanah milik Pemda Manggarai Barat,” jelas Indra

Menurut Indra banyak orang termasuk oknum notaris terjerat dengan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat dan Pasal 266 KUHP tentang memasukan keterangan tidak benar ke dalam akta. Pasal 263 KUHP, kata dia umumnya disebut sebagai induk dari segala bentuk perbuatan yang disebut pemalsuan surat.

Lebih mencurigakan lagi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) pada tahun 2017 di lokasi yang sedang bersengketa.

Diatas lahan Keranga seluas 11 hektar yang dipermasalahkan Pihak ahli waris alm. Ibrahim Hanta sudah ada 3 Sertifikat Hak Milik atas nama Paulus G. Naput, Yohanis V. Naput, dan Maria F. Naput yang diterbitkan oleh BPN Manggarai Barat Tahun 2017.

Sementara pihak BPN Manggarai Barat dan pihak tergugat tidak bisa menunjukan Warkah asli penyerahan tanah adat

“Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat diduga menerbitkan 3 Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Paulus G. Naput, Yohanis V. Naput dan Maria F. Naput pada tahun 2017 tanpa dasar bukti dokumen yang sah. Saat ini, titik terang mulai terlihat dalam sengketa ini. BPN Manggarai Barat dan pihak tergugat belum mampu menunjukkan dokumen asli berupa Warkah atau bukti penyerahan tanah adatnya dari Ulayat yang diperlukan sebagai dasar penerbitan sertifikat. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa proses penerbitan SHM tersebut tidak sesuai prosedur dan melibatkan praktik ilegal,” terang Indra

Ia menuturkan bahwa pada tanggal 8 Januari 2024, pihak penggugat melaporkan kasus ini ke Satgas mafia tanah Kejaksaan Negeri Labuan Bajo.

Menanggapi laporan tersebut, pada tanggal 16 Januari 2024, tim dari Kejaksaan Negeri Labuan Bajo yang dipimpin oleh Kasi Pidsus Bapak Wisnu Sanjaya, S.H., bersama tim BPN Manggarai Barat yang dipimpin oleh Kasi Sengketa Bapak Putu dan Bapak Jonas, turun ke lokasi untuk memeriksa tanah tersebut dan mencocokkan lokasi dengan Warkah atau bukti penyerahan tanah adat pada tanggal 2 Mei 1990.

“Dari hasil pemeriksaan tersebut, tim BPN dan tim Kejari sepakat bahwa kedua tanah atas nama Paulus G. Naput (pihak tergugat 1) dan Maria F. Naput (pihak tergugat 2) tersebut terbukti salah lokasi, salah ploting, atau salah penunjukan batas-batas. Lokasi sebenarnya berdasarkan peta warna merah seluas 16 hektar, bukan di peta warna hijau yang merupakan lokasi tanah milik penggugat seluas 11 hektar,” Jelasnya

Atas dasar itu, pihak penggugat menduga kuat bahwa kedua SHM yang terbit pada 31 Januari 2017 oleh BPN Manggarai Barat adalah hasil praktik mafia tanah, karena letak lokasi dua SHM tersebut tidak sesuai dengan bukti penyerahan tanah/Warkah/alas hak tanggal 2 Mei 1990 yang batas-batasnya jelas dan menjadi dasar penerbitan kedua SHM tersebut.

“Sejak Januari 2024, BPN Manggarai Barat belum dapat menyediakan bukti Warkah asli atas penerbitan sertifikat tersebut. Ketidakmampuan ini semakin memperkuat dugaan adanya permainan curang dalam penerbitan sertifikat tersebut. Situasi ini tidak hanya merugikan pihak Suwandi Ibrahim/Muhamad Rudini, tetapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap BPN Manggarai Barat,” ungkapnya

Selanjutnya pada tahun 2022 lalu terjadi acara peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan Hotel St. Regis pada tahun 2022 yang diketahui milik seorang pengusaha.

“Lokasi tanah warisan dari alm Ibrahim Hanta itu, pada tanggal 22 April 2022 lalu telah dilakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan Hotel St. Regis milik seorang Pengusaha bernama Santosa Kadiman yang bertempat di komplek green Ville blok V/47-48, RT.009, RW.009 Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat,” ungkapnya

Acara groundbreaking tersebut dulunya dihadiri langsung oleh Gubernur NTT Victor B. Laiskodat dan Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi. Kemudian pada tahun 2020 sebelum groundbreaking tersebut, pihak keluargaa ahli waris sudah memberitahukan kepada saudara Santosa Kadiman dan PT. Mahanaim Group (PT. Bumi Indah Internasional) tersebut, terkait status tanah itu sedang bermasalah, bahkan berulang-ulang kali demonstrasi di BPN Mabar, dan mereka tahu itu semua akan tetapi mereka bersikukuh.

Dijelaskanya, pihak pembeli dinilai tidak beritikad baik sebab tanah tersebut masih bermasalah, namun tetap juga berani untuk groundbreaking.

“Itukan sama saja dengan pembeli yang tidak beritikad baik, telah tahu ada masalah, malahan lanjut groundbreaking, itu seperti beli kasuslah sama seperti cara mafia tanah,” jelas Indra

Fakta lain yang muncul yaitu terkait adanya perubahan status SHM menjadi SHGB pada tahun 2023 oleh BPN Manggarai Barat.

Sebelumnya, tanah tersebut terdaftar sebagai SHM nomor 02549 atas nama Maria Fatmawaty Naput, yang diterbitkan pada 31 Januari 2017. Namun, status tanah berubah menjadi SHGB nomor 00176 pada 20 Desember 2023 yang diproses dan didaftarkan oleh Ibu Ika Yunita selaku kuasa dan sekaligus sekertaris pribadi Santosa Kadiman pada 18 September 2023 di BPN Manggarai Barat.

Perubahan ini terjadi meski penggugat telah mengajukan pemblokiran pada 29 September 2022. Pemblokiran tersebut bertujuan untuk mencegah perubahan status selama sengketa hukum berlangsung.

“BPN Manggarai Barat seharusnya menunda segala perubahan status hingga ada keputusan final dari pengadilan,” tambah Indra.

Indra menegaskan bahwa tindakan BPN ini merupakan penyalahgunaan wewenang yang serius. Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara harus diusut tuntas.

“Kami mencurigai adanya gratifikasi yang diterima oleh oknum pejabat BPN, mengingat perubahan status tanah ini dilakukan meskipun sudah ada permintaan pemblokiran,” ujar Indra.

Selain itu, perubahan status tanah yang masih dalam sengketa juga dapat dikategorikan sebagai pemalsuan dokumen, yang diatur dalam KUHP.

“Pengubahan SHM menjadi SHGB di tengah sengketa jelas melanggar hukum. Ini bisa dianggap sebagai penggelapan hak,” tegas Indra.

Selain itu, Pada tahun 1998 ternyata adanya pembatalan surat penyerahan tanah adat tanggal 21 Oktober tahun 1990 dan surat penyerahan tanah adat 10 Maret 1990.

“Informasi terbaru yang diperoleh dari pihak ahli waris alm. Ibrahim Hanta bahwa dasar penerbitan akta PPJB tersebut adalah pihak Niko Naput dan Santoso membuat akta PPJB menggunakan 2 surat penyerahan tanah adat tanggal 21 Oktober 1991 dan penyerahan adat 10 Maret 1990 yang sudah sangat jelas statusnya telah dibatalkan pada 17 Januari 1998 oleh pihak ulayat,” tutup Indra

Sementara itu, Santoso Kadiman belum memberikan keterangan meskipun media ini telah melakukan konfirmasi terkait keterlibatannya sebagai pihak pembeli di atas tanah yang sedang bersengketa antra pihak ahli waris alm. Ibrahim Hanta dan pihak Niko F. Naput dkk.

Media ini mencoba mengubungi Santosa Kadiman Via WhatsApp pada Jumat, (7/6/2024) siang, melalui pesan chat namun pesan tersebut belum direspon meskipun telah membacanya. Media ini juga menghubunginya via telpon, nomornya terhubung dan status berdering namun lagi-lagi Ia enggan merespon. Media ini juga tetap berupaya untuk mendapatkan keterangan dari yang bersangkutan. (red)