In Memoriam Burhan Magenda
Denny JA
“CIA pernah terlibat membantu pemenang nobel sastra. Ini kasus Boris Pasternak, novelis Uni Sovyet, di tahun 1958.”
“Waktu itu, Albert Camus yang mencalonkan Boris Pasternak. Tapi novel Pasternak, Doctor Zhivago, belum ada yang terbit dalam bahasa Rusia. Kan itu buku justru dilarang di Uni Sovyet. Novel Pasternak terbit bahasa Itali.”
“Padahal satu syarat menang novel sastra, novel itu harus juga terbit dalam bahasa asli penulis. CIA terlibat membantu terbitnya novel Pasternak dalam bahasa Rusia.”
“Wah, itu kasus nobel sastra yang paling politis. CIA dan KGB terlibat saling bermanuver.”
Percakapan ini yang saya ingat setelah mendengar wafatnya Prof. Dr. Burhan Magenda. Ia bertandang ke kantor saya di jalan pemuda, satu hari di bulan Januari 2022.
Entah mengapa, kala itu Burhan Magenda terasa beberapa kali memang ingin berkomunikasi dengan saya.
Sebelumnya, Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena menyelenggarakan webinar soal Nobel Sastra. Topik ini diangkat merespon heboh polemik di media sosial akibat undangan Nobel Sastra kepada komunitas puisi esai. Sayapun dicalonkan untuk nobel sastra untuk tahun 2022.
Burhan Magenda hadir dalam webinar itu. Ia berbicara di sana. Secara terbuka pula ia menyatakan dukungannya atas pencalonan nobel sastra untuk saya.
Sebelumnya, Satupena juga menyelenggarakan program Book and Music. Kita mereview buku sambil juga mendengar live music, tatap muka sesama penulis di Jakarta.
Kembali Burhan Magenda hadir di sana. Kami sempat bicara singkat saja. Di sana, ia menyatakan ingin main ke kantor saya dan bercakap lebih panjang.
Dengan senang hati saya menyambut keinginannya.
Memang usia saya terpaut jauh, 17 tahun lebih muda. Untuk dunia akademik, ketika saya masih mahasiswa, Burhan Magenda sudah menjadi dokter ilmu politik terkenal, lulusan University of Cornell.
Papernya di Prisma, dan kolomnya di Kompas, acapkali menjadi referensi bagi saya yang masih mahasiswa.
Tapi hari itu, Burhan tak menunjukan senioritasnya. Ia justru datang sebagai teman yang sederajat, yang ingin hangat.
-000-
“Wah kehormatan bagi saya menerima pak Burhan di kantor saya. Ketika mahasiswa, saya banyak menimba ilmu dari tulisan pak Burhan.”
Itu yang pertama saya katakan ketika Burhan Magenda muncul di hadapan saya.
Ia tertawa. “Itu kan dulu, mas Denny. Sekarang terbalik. Saya yang banyak menimba ilmu dari mas Denny.” Ia tertawa. Saya juga tertawa.
Luasnya pengetahuan Burhan Magenda soal dunia politik sudah saya tahu sejak dulu. Ia tak hanya peneliti dan doktor ilmu politik lulusan universitas terkenal dunia. Ia juga politisi, pernah menjadi anggota DPR dari Golkar.
Yang saya tak duga, Burhan Magenda juga banyak mengikuti dunia sastra. Ia menyenangi apa yang juga saya senangi: novel historical fiction.
“Mas Denny kapan membaca novel Doctor Zhivago?,” tanya Burhan.
“Saya lebih dahulu menonton filmya, pak. Saya sangat tersentuh dengan kisah cinta rahasia dokter Yuri dengan Lara. Omar Sharif dan Julie Christie bagus memerankannya.”
“Saya terpana dengan suaminya Lara. Ia menyatakan: kehidupan pribadi sudah mati. Sejarah yang membunuhnya. Kini hanya ada perjuangan kelas.”
Baru ketika sekolah di Amerika Serikat, saya membaca novel aslinya. Tapi itu pun tak habis.”
Burhan Magenda tertawa. Ia pun bercerita kisah keterlibatan CIA membantu Pasternak menang nobel sastra.
-000-
Ketika kami berjumpa, Burhan mengeluh. Ia tak lagi seproduktif dulu. Usia menua. Semakin tak ada peluang riset yang serius, dengan dana yang cukup.
Dalam dunia akademik, Burhan Magenda dikenal ahli soal politik lokal. Ia membuat riset soal Ethnic and Social Class in Indonesian Local Politics. Ini studi kasus Kalimantan Timur.
Disertasinya di Cornell University juga soal politik lokal: The Aristrocacy in Provincial Politics in Indonesia: A Study of Three Outer Islands.
“Mas Denny pernah juga riset soal konflik etnis ya?,”
“Ya, pak.” Saya pun bercerita riset di tahun 2012. Yayasan Denny JA melakukan riset kekerasan akibat diskriminasi, di Indonesia pasca reformasi, tahun 1998.
“Agar terukur dan dapat dibandingkan satu kasus dengan kasus lain, saya membuatkan indeks kuantitatifnya.”
Saya bercerita panjang lebar. Indeks kekerasan disusun berdasarkan 5 variabel: jumlah korban yang mati, lamanya konflik, luasnya konflik, kerugian materi, dan luasnya pemberitaan media
Lima kasus kekerasan politik identitas terburuk di Indonesia saya data, pasca reformasi 1998. Yang paling keras adalah konflik agama Islam dan kristen di Maluku tahun 1999
Juga konflik etnis di Sampit, kalimantan, tahun 2001, antara suku pendatang Madura dan penduduk asli suku dayak
Kekerasan rasial di Jakarta tahun 1998, yang menimpa etnis Tionghoa ikut dimasukkan ke dalam list. Juga kekerasan atas paham agama: Ahmadiyah di Mataram, tahun 2006.
Konflik etnis di Lampung Selatan tahun 2012, antara suku pendatang: Bali dan penduduk asli Lampung juga dijadikan kajian.
“Saya setuju,” ujar pak Burhan. “Maluku memang paling parah.
“Isu kesetaraan warga negara di banyak daerah belum selesai,” sambung Burhan.
“Saya juga pernah riset mengenai Syndrom Putra Daerah.” Ujar Burhan: “Sejak era otonomi daerah, putra daerah terlalu dipentingkan. Tak jarang jenjang meritokrasi dan profesionalisme dikurbankan demi keutamaan putra daerah.”
Kami berencana berjumpa lagi. Percakapan kami sangat hangat. Di samping kami sangat nyambung ngobrol soal politik, juga kami terkoneksi bercakap soal sastra.
Namun Burhan Magenda kini sudah tiada. Tak saya tahu jika ia mengidap penyakit kronis jantung dan ginjal. Ia juga tak cerita apa- apa soal penyakitnya.
Selamat jalan profesor. Selamat jalan kawan diskusi yang mengasyikan.***
4 April 2022
Publisher: Gus Din