Prosiar.com, Labuan Bajo – Keluarga besar ahli waris alm. Ibrahim Hanta menyebut bahwa sengketa lahan di Keranga, Labuan Bajo, berawal dari Surat Perolehan yang diduga palsu tertanggal 10 Maret 1990, dengan klaim luas lahan mencapai 16 hektar. Dokumen ini digunakan sebagai dasar oleh pihak ahli waris alm. Nikolaus Naput untuk menerbitkan 5 sertifikat hak milik (SHM) dan mengklaim kepemilikan atas tanah tersebut.
Demikian yang disampaikan oleh Surion Florianus Adu, salah satu tokoh masyarakat Ulayat Nggorang, Labuan Bajo disampaikan kepada media, Kamis (19/12/2024) di Labuan Bajo. Ia mengatakan bahwa Surat Perolehan 10 Maret 1990 diklaim sebagai dokumen kepemilikan lahan oleh keluarga ahli waris alm. Nikolaus Naput, namun keabsahan dokumen patut dipertanyakan karena beberapa faktor:
Pertama; ketidaksesuaian Status Pemilik Asli. Niko Naput bukan keturunan dari Dalu Nggorang, penguasa adat yang berwenang atas tanah ulayat di Keranga. Sebagai pendatang, klaim atas lahan ini secara adat tidak memiliki legitimasi yang kuat.
Kedua; Pembatalnya Surat Pengukuhan oleh Fungsionaris Adat. Surat pengukuhan yang terkait dengan dokumen ini telah dibatalkan oleh fungsionaris adat Nggorang pada 17 Januari 1998. Pembatalan ini menegaskan bahwa hak adat atas tanah tersebut tidak pernah diberikan kepada pihak luar, termasuk Niko Naput.
Ketiga; penggunaan dokumen yang diduga palsu untuk penerbitan SHM. Dokumen perolehan yang diduga palsu 10 Maret tahun 1990 ini, menjadi dasar penerbitan 5 Sertifikat Hak Milik (SHM) pada 2017. Dimana kemudian berubah menjadi Hak Guna Bangunan (SHGB) pada 2023 atas permintaan pihak tertentu.
Dengan adanya dugaan penggunaan Surat Perolehan Palsu 10 Maret 1990 ini sebagai dasar penerbitan SHM. “Semua sertifikat dan transaksi turunannya dinilai cacat hukum, proses jual beli tanah, termasuk akta PPJB tahun 2014 antara Niko Naput dan Santosa Kadiman, harus dibatalkan karena mengacu pada dasar yang tidak sah,” kata Florianus
Selain itu kata dia, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat didesak untuk menjelaskan bagaimana dokumen bermasalah ini lolos dalam proses sertifikasi tanah.
Pada 31 Januari 2017, menggunakan dasar Surat Perolehan 10 Maret yang diduga palsu ini, pihak Niko Naput berhasil menerbitkan 5 Sertifikat Hak Milik (SHM) di BPN Manggarai Barat. Proses yang melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) patut dipertanyakan. Kejanggalan ini menguatkan indikasi adanya praktik mafia tanah yang bekerja diduga melalui pemalsuan dokumen dan kolusi dengan pihak-pihak tertentu.
Kasus semakin kompleks ketika SHM tersebut berubah menjadi Hak Guna Bangunan (SHGB) pada tahun 2023, menunjukkan upaya legalisasi lahan melalui mekanisme administratif yang dipaksakan. Hal ini mengakibatkan kerugian besar bagi keluarga ahli waris Ibrahim Hanta yang kehilangan akses atas tanah warisan leluhur mereka.
Jon Kadis, SH,. salah satu tim PH keluarga ahli waris almarhum Ibrahim Hanta (pihak penggugat) menuntut transparansi dari BPN Mabar terkait proses penerbitan dokumen tersebut. Pihaknya menegaskan bahwa proses hukum yang sedang mereka tempuh bertujuan untuk mengembalikan hak kepemilikan yang seharusnya, serta mengungkap peran Haji Ramang Ishaka dan juga Santosa Kadiman (Pembeli tanah dari Nikolaus Naput) secara jelas dalam kasus ini.
Menurut Jon, penerbitan 5 SHM tersebut mencurigakan karena diduga melibatkan praktik ilegal. Mereka menduga bahwa Haji Ramang Ishaka, dengan surat pengukuhan yang dikeluarkannya menjadi dasar untuk menerbitkan 5 SHM atas nama keluarga ahli waris Niko Naput, sementara sudah sangat jelas tahun 1998 adanya surat pembatalan.
Ia mengatakan bahwa sangat kuat dugaan, lahan yang dimana dibangunnya Hotel St. Regist milik Santosa Kadiman adalah lahan yang dibeli dari Niko Naput yang mana dalam fakta persidangan diperlihatkan para saksi bahwa surat warkah alas hak (surat pelepasan dari fungsionaris adat Nggorang) yang dimiliki Niko Naput dibatalkan pada tahun 1998 dengan alasan di dalamnya terdapat tanah Pemda (yayasan yang akan dibangun sekolah perkanan).
“Para saksi mengakui bahwa surat warkah alas hak (surat pelepasan dari fungsionaris adat Nggorang) yang dimiliki Niko Naput dibatalkan oleh fungsionaris adat Nggorang melalui suratnya yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 1998 dengan alasan lahan itu terdapat tanah Pemda (yayasan yang akan dibangun sekolah perikanan) yang bersebelahan dengan tanah milik ahli waris Abraham Hanta 11 hektar yang sedang berperkara saat ini di Pengadilan Negeri Labuan Bajo,” jelas Jon
Haji Ramang juga pernah mengakui bahwa benar adanya surat pembatalan pada tanggal 17 Januari 1998. Pernyataan ini tercatat dalam BAP dan sudah ada putusan inkrah di pengadilan Tipikor Kupang pada tahun 2020 lalu. Saat itu Haji Ramang menjadi saksi pada kasus korupsi aset Pemda Manggarai Barat dan pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Haji Adam Djudje sebagai penata Lengkong Kerangan.
Atas dasar itu pihak penggugat menduga kuat bahwa Haji Ramang yang membuat surat pengukuhan tanah adat seluas 16 hektar atas nama Nasar Bin Supu untuk penerbitan 5 SHM yang muncul bersamaan tanggal 31 januari 2017 termasuk di dalamnya 3 SHM milik Maria Fatmawati Naput, Paulus Grant Naput dan Johanis Van Naput.
Sementara, sejak tanggal 1 Maret 2013, Haji Ramang tidak lagi berhak untuk menata tanah ulayat. Hal itu terkuat dengan munculnya dokumen yang salinanya diperoleh media ini terkait surat pernyataan tentang kedaulatan Fungsionaris adat Nggorang atas tanah adat ulayat Nggorang di wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Surat pernyataan tersebut juga ditandatangani di atas Materai oleh Haji Ramang.
Temuan Satgas Mafia Tanah: SHM Salah Lokasi dan Warkah Tidak Sesuai
Pada Januari 2024, Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Negeri Labuan Bajo menemukan kejanggalan terkait status tanah yang terdaftar atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus G. Naput. Berdasarkan pemetaan lapangan, SHM atas nama mereka ternyata berada di lokasi yang salah dan tidak sesuai dengan warkah atau bukti kepemilikan adat.
Temuan ini semakin memperkuat dugaan adanya manipulasi administratif di BPN Manggarai Barat demi melindungi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Pada 23 Agustus 2024, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui surat resmi Nomor R-860/D.4/Dek.4/08/2024 kepada Muhammad Rudini, ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, menemukan adanya indikasi cacat yuridis dan/atau administrasi dalam penerbitan SHM oleh BPN Manggarai Barat. Surat ini mendorong keluarga Hanta untuk menempuh berbagai jalur hukum, baik melalui gugatan pidana, perdata, maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), guna melindungi hak kepemilikan mereka.
Mikael Mensen salah satu keluarga ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, menilai bahwa dukungan dari Kejaksaan Agung ini menjadi bukti bahwa praktik mafia tanah di Labuan Bajo bukan sekadar isu semata, tetapi memang ada fakta yang terungkap.
“Kami berharap ini menjadi awal dari pemberantasan mafia tanah di Labuan Bajo,” kata Mikael
Sementara itu, Zulkarnain Djudje, anak dari alm. Adam Djudje, memberikan pandangannya yang cukup tajam dan terbuka. Kesaksiannya membuka tabir mengenai siapa sebenarnya Haji Ramang dan memperjelas berbagai tudingan yang selama ini mengelilinginya.
Jadi kata dia, menyangkut Haji Ramang itu sederhana saja. Apa yang saya tahu ini bukan rahasia lagi. Haji Ramang itu bukan siapa-siapa, itu jelas. Saat itu ia sudah berumur 60 tahun, jadi apapun yang dibuat oleh Haji Ramang sangat tahu persis.
Kebetulan orang tua Zulkarnain, (alm. Adam Djudje) pernah menata tanah sebanyak 16 lingko sebagai perpanjangan tangan dari Haji Ishaka (bapak dari Haji Ramang). Namun, Haji Ramang tidak pernah berterima kasih kepada orang tua Zulkarnain.
“Jadi saya memberikan keterangan bahwa orang tua saya sebatas menata, karena orang tua saya bukan tua adat. Kemudian, apa yang dibuat oleh orang tua saya, kami sebagai ahli waris bertugas hanya untuk menjaga agar tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak punya wewenang. Ternyata benar, yang terjadi itu dimanfaatkan oleh Haji Ramang untuk menata ulang tanah sehingga banyak yang tumpang tindih. Jadi Haji Ramang ini bukannya melanjutkan atau menjaga apa yang sudah dibuat oleh orang tuanya (Haji Ishaka), malah dia menata kembali. Bayangkan saja pak, bagaimana tanah yang sudah dibagi oleh orang tuanya lalu dia bagikan ulang, inikan tumpang tindih jadinya.” ungkap Zulkarnain Djudje Rabu, (19/6/2024)
Putusan PN Labuan Bajo
Dalam putusan terbaru Pengadilan Negeri Labuan Bajo, sertifikat hak milik (SHM) atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grans Naput dinyatakan cacat hukum. Keputusan ini berimbas pada pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Kadiman Santosa, pemilik Hotel St. Regis, dengan Nikolaus Naput yang dibuat di hadapan Notaris Bili Ginta.
Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 23 Oktober 2024 yang memenangkan keluarga ahli waris Ibrahim Hanta semakin menguatkan dugaan bahwa praktik mafia tanah di Labuan Bajo melibatkan jaringan yang terstruktur hingga kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.
Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa tanah seluas 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, sah dimiliki oleh ahli waris almarhum Ibrahim Hanta.Haji Ramang juga pernah mengakui bahwa benar adanya surat pembatalan pada tanggal 17 Januari 1998. Pernyataan ini tercatat dalam BAP dan sudah ada putusan inkrah di pengadilan Tipikor Kupang pada tahun 2020 lalu saat Haji Ramang menjadi saksi pada kasus korupsi aset Pemda Manggarai Barat dan pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Haji Adam Djudje sebagai penata Lengkong Kerangan.
Atas dasar itu pihak penggugat menduga kuat bahwa Haji Ramang yang membuat surat pengukuhan tanah adat seluas 16 hektar atas nama Nasar Bin Supu untuk penerbitan 5 SHM yang muncul bersamaan tanggal 31 januari 2017 termasuk di dalamnya 3 SHM milik Maria Fatmawati Naput, Paulus Grant Naput dan Johanis Van Naput.
Sementara, sejak tanggal 1 Maret 2013, Haji Ramang tidak lagi berhak untuk menata tanah ulayat. Hal itu terkuat dengan munculnya dokumen yang salinannya diperoleh media ini terkait surat pernyataan tentang kedaulatan Fungsionaris adat Nggorang atas tanah adat ulayat Nggorang di wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Surat pernyataan tersebut juga ditandatangani di atas Materai oleh Haj Ramang.
Sementara itu, SM, mantan Kepala BPN yang pernah bertugas di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT), memberikan tanggapan kritis terhadap Gatot Suyanto, Kepala BPN Manggarai Barat, terkait kasus sengketa tanah ini. Menurutnya, sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 tentang Penyelesaian Sengketa Pertanahan, BPN memiliki kewenangan untuk menangani kasus semacam ini.
Jika ditemukan kesalahan prosedur, cacat administrasi, atau kekeliruan dalam proses penerbitan sertifikat, Kantor Pertanahan (Kantah) seharusnya segera melaporkan kasus tersebut ke Kantor Wilayah (Kanwil) agar sertifikat yang dianggap cacat hukum dapat dibatalkan.
“Pihak Kantah BPN Manggarai Barat seharusnya melaporkan kasus ini ke Kanwil sehingga bisa diambil tindakan pembatalan sertifikat tanpa menunggu putusan pengadilan. Namun, tampaknya Kantah BPN Mabar enggan melakukan pembatalan karena ada campur tangan pihak-pihak berkepentingan seperti Haji Ramang dan mafia tanah lainnya,” jelas SM kepada media ini Minggu, (15/9/2024) pagi.
Lebih lanjut, SM menyoroti temuan dari operasi intelijen Kejaksaan Agung yang mengungkap adanya pelanggaran dalam penerbitan sertifikat tersebut. Menurut SM, hasil temuan tersebut seharusnya sudah cukup bagi BPN untuk mengambil langkah pembatalan tanpa perlu menunggu putusan inkrah dari pengadilan. Namun, BPN tampaknya khawatir akan adanya intimidasi dari para mafia tanah yang diduga memiliki pengaruh kuat di balik kasus ini.
Menurutnya, fakta bahwa ahli waris keluarga Ibrahim Hanta telah memperoleh surat pengakuan adat yang asli semakin memperkuat posisi mereka dalam kasus ini. Sertifikat atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grant Naput dianggap tidak sah karena tidak didasari surat perolehan tanah asli dari ketua adat setempat. SM menegaskan, hasil operasi intelijen Kejaksaan Agung dapat dijadikan bahan pertimbangan kuat oleh hakim di pengadilan untuk memberikan keputusan yang adil bagi keluarga Ibrahim Hanta.
Aliansi Relawan Prabowo Gibran Kawal Kasus Sengketa Tanah di Keranga Labuhan Bajo
Koordinator Nasional Aliansi Relawan Prabowo Gibran (ARPG) Syafrudin Budiman SIP merasa iba melihat perjuangan Muhamad Rudini dan Mikael Mensen Warga Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dimana keduanya yang hanya petani kecil dan guru ngaji mengaku hak tanahnya dirampas oleh mafia tanah, yang diduga bersekongkol dengan BPN Manggarai Barat.
Diketahui Muhamad Rudini sebagai cucu dari almarhum kakek Ibrahim Hanta adalah tokoh masyarakat Labuan Bajo yang menjadi pendiri Masjid Agung Waemata pertama di Labuan Bajo, NTT. Kakek Ibrahim Hanta adalah guru ngaji yang sudah menghibahkan tanahnya dan uang miliaran untuk pembangunan Masjid Agung Waemata. Bahkan, jasad almarhum dimakamkan di dalam Masjid Agung tersebut.
Tanah waris almarhum Ibrahim Hanta inilah yang diserobot oleh mafia-mafia tanah yang berkedok pengusaha, bekerjasama dengan Haji Ramang Ishaka yang mengaku dan menyatakan peralihan tanah ke Niko Naput dkk. Sehingga hak tanah waris dari Muhamad Rudini dan Mikel Mensen beralih hak suratnya yang diduga dibantu oknum BPN Mabar.
Demi mendapatkan keadilan dan kehormatan, terkait sengketa tanah keduanya seluas 11 hektar di kawasan Keranga, Labuan Bajo. Aliansi Relawan Prabowo Gibran (ARPG) turun tangan mengawal dan melapor Presiden Prabowo Subianto ke Istana Merdeka, Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2024).
“Kami ARPG membantu perjuangan Bapak Muhamad Rudini dan Mikel Mensen asal Labuhan Bajo, NTT yang dirampas hak tanahnya. Sudah kami kirim surat dan kami laporkan ke Presiden Prabowo di Istana Negara terkait kejadian ini agar menjadi perhatian,” kata Gus Din sapaan akrab Syafrudin Budiman. (red)