Prosiar, Jakarta – Forum Seniman Peduli TIM (FSP-TIM) gelar aksi di Mahkamah Agung RI (MA) untuk mengawal ‘gugatan’ yang sudah dikuasakan kepada pengacara Effendi Saman, SH. Rombongan seniman yang terdiri ratusan seniman itu hadir di MA sekitar pukul 12.00 WIB, Senin (21/8).
Gugatan dimaksud berupa pengajuan hak uji materiel terhadap Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019 juncto nomor 16 Tahun 2022 yang memberikan kewenangan penuh kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM).
“Perusahaan perseroan daerah, yang sesuai Akta Notaris Nomor 24, tanggal 26 Oktober 2021, bidang usahanya adalah perdagangan, jasa dan pengembangan, infrastruktur, serta utilitas real estate dan infrastruktur,” kata Pengurus Forum Seniman Peduli TIM, Mogan Pasaribu (22/8/2022).
Kehadiran para seniman di ruang pengadilan itu adalah sesuatu yang tidak biasa. Agaknya, baru pertama kali dalam sejarah republik, yang sudah menyatakan kemerdekaannya selama 77 tahun ini.
“Tapi, hari ini, sebuah kawasan kesenian yang bersejarah, TIM yang diwariskan oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai rumah besar seniman, justru sudah tidak merdeka. Kawasan kesenian milik negara, yang sejak awal didirikan (dan seharusnya) bebas dari intervensi kuasa politik dan ekonomi kapitalistik itu kini telah direnggut oleh PT Jakpro,” Mogan Pasaribu.
Tanpa alasan yang jelas, lanjutnya, tanpa perbincangan yang patut dan benar, dengan para seniman yang memiliki hak sejarah, hak moral, hak kultural, dan hak konstitusional atas ruang ekspresi yang melahirkan atara lain, Rendra, Arifin C. Noer, Huriah Adam, Sardono W. Kusumo, Wahyu Sihombing, Sutardji Calzoum Bachri, Slamet Abdul Syukur dan lain-lain, para seniman yang berpengaruh, dan memberi sumbangsih bagi kemajuan kesenian dan kebudayaan di negeri ini.
54 tahun yang lalu, Ali Sadikin sudah tegas menyatakan bahwa TIM dibangun sebagai investasi kultural. “Hasilnya tidak segera dapat dikecap, tapi memakan waktu yang lama,” kata Ali Sadikin saat meresmikan Taman Ismail Marzuki pada tanggal 10 Nopember 1968, sebagaimana dikutip Pelopor Baru, No. 684 Tahun 1968. Ia pun mengingatkan, “Politik sebagai panglima di bidang kebudayaan tidak boleh terjadi di Pusat Kesenian,” (El Bahar, 12 November 1968).
“Apa yang telah kita tanamkan sebagai modal seni, modal kebudayaan, di kompleks Pusat Kesenian Jakarta ini, akan memberikan bunga dan buah-buah karya seni yang tak terhingga nilainya bagi kehidupan kultural kita di ibu kota di masa-masa yang akan datang!,” ucap Mogan Pasaribu menirukan ucapan Ali Sadikin.(Red)