Gedung Arsip Nasional Gajah Mada Idealnya Dapat Dijadikan Atelase Bagian Dari Wajah Kebudayaan Indonesia

Oleh: Jacob Ereste

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tak akan memberi banyak manfaat bagi warga masyarakat jika tidak dibuatkan semacam daya Tarik tersendiri. Apa lagi di jaman sekarang daya minat baca warga masyarakat pada umumnya relatif semakin mengendor akibat dimanjakan oleh fasilatas gratis yang dijajakan oleh goegle. Karena arsip itu sendiri sebagai catatan kesaksian entah tentang apa saja yang dianggap memiliki nilai sejarah, meski baru kemarin pembuatannya. Jadi arsip itu bisa dipahami semacam suatu dokumen yang memberi kesaksian tentang suatu peritiwa yang sudah terjadi dan dianggap perlu untuk didokumentasikan agar dapat mengingatkan – bila suatu ketika kelak – diperlukan untuk dibuka. Misalnya ingin dibaca, hendak dipelajari, atau guna menjadi sandingan untuk mendapat keterangan lebih lanjut dari suatu obyek yang sedang diragukan kebenarannya.

Jidi arsip itu, tidak akan memiliki daya gugah manakala tidak diperlukan. Sehingga, cara pengelolaannya harus dilakukan dengan cara yang memiliki daya gugah dan menarik kepada siapa pun untuk mengetahui, lalu mengenalnya lebih jauh untuk kemudian mendalami guna melihat beragam informasi atau semacam kesimpulan yang tidak tersurat – namun tersirat – yang terkandung di dalam muatan catatan itu yang dapat dipahami sebagai arsip.  Karena arsip itu sendiri hanya sebatas kesaksian dalam bentuk narasi, bukan semacam dokumen pada umumnya yang meliputi barang atau benda, foto, termasuk rekaman – manakala tidak dijadikan transkrip – menurut informasi yang bisa dipercaya, semua yang disebutkan barusan tadi tidak bisa disebut arsip.

Itulah sebabnya, Ketika Eko Sriyanto Galgendu melafaskan ayat-ayat bumi di Kantor ANRI – atau bahasa langit dalam istilah Profesor  Dr. Ravik Karsidi – Kepala ANRI Drs. Imam Gunarto, M.Hum menyarakan untuk direkam sehingga kemudian dapat di transkrip dalam bentuk narasi tertulis agar dapat masuk menjadi koleksi Arsip Nasional yang dapat dibaca dan dipelajari lebih jauh oleh para para peminatnya. Usulan Imam Gunarto ini sekedar untuk meyakinkan difinisi dari apa yang dimaksudkan arsip itu sesungguhnya hanya sebatas dokumen tertulis saja.

Artinya, yang dimaksud dari arsip itu adalah semacam dokumen tertulis – jadi tidak dalam bentuk barang, foto maupun rekaman suara – maka arsip seperti tidak memiliki daya rangsang untuk diketahui, dibaca atau bahkan untuk dipelajari manakala tidak diberi semacam bumbu-bumbu penyedap agar banyak pihak dapat tertarik untuk bersentuh akrab denga apa yang disebut arsip itu. Karena dalam suatu kesempatan —  Baca : Cagar Budaya Sebagai Pusat Kegiatan Untuk Mengisi Ruh Bangsa dan Negara (Merupakan Nilai Tambah Bagi Arsip Nasional Republik Indonesia) – perlu dikreasi sedemikian rupa, sehingga gedung arsip dan seisinya  dapat memiliki daya pikat tersendiri sehingga dapat menjadi pengetahuan – untuk kemudian didayagunakan pemanfaatanya.

Kesan seusai mengunjungi Gedung Arsip Nasional di Jalan Hayam Wuruk – Gajah Mada, Jakarta Pusat, sungguh menginspirasi untuk meningkatkan daya minat masyarakat guna lebih menganal kekayaan arsip nasional kita, ingin sekali diusulkan agar Gedung yang indah itu dapat dijadikan semacam pusat kegiatan kesenian dan kebudayaan yang rutin berlangsung. Apalagi mengingat sejumlah gedung kesenian di Jakarta semakin langka – termasuk Taman Ismail Marzuki – yang tak lagi dapat dirasakan memiliki aura seni dan budaya maupun tata pergaulan yang lebih akrap dan merakyat seperti waktu-waktu sebelumnya. Gedung Kesenian yang ada di Kawasan Pasar Baru Jakarta Pusat pun, terkesan lain. Lebih elitis dan tidak merakyat. Padagal, Gedung kesenian itu seyogyanya mampu menimbulkan rasa yang akrab atau at home dalam istilah Marsela yang kuga merasa kecewa karena tidak menemukan lagi suasana di lapak kesenian Indonesia seperti pada era tahun 1980 dan sebelumnya.

Suasana Gedung Arsio Nasional yang berada di Kawasan Gajah Mada Jakarta Pusat sungguh menggugah, karena sangat strategis dan representasi tata ruangnya pun sungguh menakjubkan. Gedung Arsip yang acap disebut Gedung Gajah Mada itu ceritanya dibangun semasa VOC tahun 1760 untuk tempat tinggal Reinier de Klerk, Gubernur Jenderal VOC. Dahulu nama daerah itu disebut Molenvliet, hingga terbilang wilayah kaum elite di Batavia (Jakarta sekarang). Baru kemudian muncul daerah lain elite yang lain yang disebut  Weltevreden (Harmoni, Lapangan Banteng dan Monumen Nasional sekarang). Jadi jelas Gedung itu memiliki nilai sejarah sehingga patut tersecatat sebagai bagian dari sejumlah cagar budaya yang mendapat perlindungan dan pengawasan.

Tapi masalah, bukan harus dianggurin begitu saja seperti barang antik, sehingga tidak boleh dipakai. Karena semua yang ada di bumi – termasuk manusia – nilainya adalah seberapa banyak dan besarnya manfaatnya barang atau orang tersebut bagi orang lain. Pemahaman yang sejalan dengan ini agaknya seperti yang dimaksud Islam Profetik dari gagasan Profesor. Dr. Kunto Wijoyo yang sangat bersahaja dan ugahari itu.

Gedung Arsip Gajah Mada – demikian sebagian orang menyebutnya – sungguh memiliki sejarah yang Panjang. Sehingga bagi siapa saja yang sempat berkunjung ke hunian elite Batavia pada abad ke-18 ini, bisa dipastikan jika mempunyai kesempatan berikutnya akan Kembali lagi. Gedung indah nan menawan ini kisahnya pernah berganti-ganti pemilik. Satu diantaranya adalah F.R. Rademacher, pendiri Bataviaasche Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen.

Namun sebagai pemilik terakhir dari bangunan gedung yang menawan ini adalah anaknya Leendert Miero yang kemudian menjualnya kepada Dewan Diakon Gereja Reformasi lalu digunakan sebagai rumah yatim piatu hingga sekitar tahun 1900. Namun pada tahun 1901 rumah ini dijual kepada Pemerintah Hindia Belanda atas desakan dari Bataviaasche Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen. Hingga kemudian bangunan ini dipakai sebagai kantor Departemen Pertambangan Pemerintah Hindia Belanda.

Catatan berikutnya pada tahun 1925 bangunan ini sempat dipugar dan ditenovasi sesuai dengan kondisinya yang asli. Seusai dipugar, bangunan ini terus diserahkan kepada Landsarchief, yaitu lembaga yang bertanggung jawab untuk memelihara arsip-arsip pada masa VOC sampai pada masa peralihan menjadi Pemerintahan Hindia Belanda. Syahdan, setelah Indonesia merdeka, lembaga tersebut berubah menjadi Arsip Nasional Indonesia. Lalu pada tahun 1950 bangunan gedung ini mengalami penambahan pada bagian sayap kanan dan sayap kiri, serta bangunan bagian belakang. Sedihnya, sejak tahun 1979 bangunan indah ini justru tidak lagi dipakai bahkan tidak dirawat. Hingga tahun 1992, kata para peneliti dan ahli pelestari gedung yang bernilai sejarah di Indonesia,

Banyak ornamen kayu serta dinding bangunan mengalami kerusakan akibat terendam banjir. Konon air yang menggenangi gedung ini sempat mencapai 50 cm. Beberapa kerusakan lainnya yaitu bangunan kayu terkena rayap, atap bocor. Selain itu, bangunan Gedung Arsip Nasional ini sempat terancam dibongkar hendak dijadikan pusat perbelanjaan. Baru pada tahun 1995,  Erick Hammerstein dan Christine Paauwe serta sejumlah pengusaha asal Belanda mendirikan De Stichting Cadeau Indonesia atau Yayasan Hadiah untuk Indonesia mempelopori penyelamatan gedung ini. Menggaris bawahi peristiwa ini sekedar untuk memahami betapa rendahnya penghargaan kita terhadap bangunan bersejarah, sehingga segalanya hendak dikomersialkan. Bayangkan, tak kurang dari 60 pengusaha atau perusahaan asal Belanda yang berada di Indonesia memberi sumbangan dana untuk melakukan restorasi Gedung Arsip Nasional seperti yang bisa kita lihat sekarang. Karena pemugaran gedung ini katanya sebagai hadiah ulang tahun bagi Negara Indonesia yang ke-50 dari masyarakat Belanda. Bukan hadiah dari pemerintah Belanda. Meski dana pemugaran tersebut secara simbolik diserahkan oleh Ratu Beatrix ketika berkunjung ke Indonesia.

Ternayata, hasil restorasi gedung cantik di Kawasan Gajah Mada Jakarta Pusat itu baru bisa diselasaikan pada tahun reformasi, 1998. Lalu didirikankanlah Yayasan Bangunan Arsip Nasional yang berfungsi untuk menjamin pelindungan dan pemeliharaan bangunan serta bertanggung jawab pada pengelolaan bangunan. Pengurus yayasan tersebut terdiri dari warga negara Indonesia dan ekspatriat, hingga akhirnya pada tahun 2001 Arsip Nasional mendapatkan penghargaan Award of Excellent dari UNESCO Asia-Pasific Awards for Cultural Cultural Heritage Conservation. Tapi masalahnya sampai sekarang adalah pemanfaatan gedung indah bernilai sejarah itu belum maksimal dilakukan. Karenanya, yang paling ideal peruntukannya adalah diarahkan untuk kegiatan seni dan budaya bagi masyarakat sekaligus sebagai upaya mendekatkan – bila tidak bisa mengakrabkan – warga masyarakat luas kepada khazanah kearsipan sebagai bagian dari kekayaan yang tuidak ternilai harganya.

Agaknya, pilihan terbaik itu dapat segera diwujudkan oleh pihak pengelola gedung Arsip Gajah Mad aini, agar dapat mendorong dunia kesenian dan kebudayaan Indonesia dapat Kembali menggeliat seperti pada 30 atau 40 tahun silam. Kecuali itu, agar ruang bermain kaum seniman dan budayawan Indonesia memiliki habitat baru yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik dari dalam negeri sendiri maupun dari negara asing. Setidaknya, gedung bernilai sejarah itu tak sekedar dijadikan pajangan belaka, tetapi juga dapat menjadi semacam atalase bagian dari wajah kebudayaan Indonesia.

Banten, 22 Januari 2022