Menakar Peran Militer di Tengah Krisis Ekonomi dan Politik

oplus_1056

Menakar Peran Militer di Tengah Krisis Ekonomi dan Politik

Oleh: Indria Febriansyah
Ketua Umum Kabeh Sedulur Tamansiswa Indone

oplus_1058

sia
Pendukung Presiden Prabowo Subianto

Indonesia berada dalam situasi yang tidak mudah. Stagnasi ekonomi, maraknya korupsi, pelemahan supremasi hukum, hingga tingginya angka PHK menjadi potret suram kondisi nasional. Target pajak yang turun drastis dan utang negara yang menumpuk semakin memperjelas bahwa tatanan sipil saat ini sedang mengalami kegagalan dalam menjalankan amanah rakyat.

Dalam kondisi seperti ini, kita perlu bertanya: apakah demokrasi yang kita jalankan masih berfungsi sebagaimana mestinya? Ataukah kita telah jatuh ke dalam democracy fatigue, kelelahan demokrasi yang berujung pada ketidakmampuan sistem untuk bertindak tegas?

Relevansi Peran Militer

Di tengah kondisi ini, peran militer kembali menjadi perbincangan penting. Sebagai institusi yang memiliki disiplin tinggi, loyalitas terhadap negara, dan pengalaman dalam menjaga stabilitas, militer bisa menjadi solusi bagi kebuntuan yang terjadi saat ini. Namun, peran itu harus dikembalikan dalam koridor reformasi yang tepat agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu.

Selama 25 tahun terakhir, pasca reformasi, tatanan sipil telah mendominasi. Tetapi apa hasilnya? Banyak pemimpin yang justru abai, membiarkan ekonomi dikuasai oleh segelintir elite dan membiarkan hukum diperjualbelikan. Generasi militer yang dulu bertempur sebagai Kombatan Timor Timur kini telah bergeser, dan generasi yang muncul justru lebih dikenal dengan rekening gendut mereka. Inilah tanda nyata kegagalan tatanan sipil.

Di sinilah urgensi revisi Undang-Undang TNI muncul. Kita tidak bisa membiarkan militer hanya menjadi simbol tanpa fungsi konkret dalam menjaga stabilitas negara, terutama dalam kondisi ekonomi yang genting.

Militer dan Stabilitas Ekonomi

Dalam sejarah banyak negara, militer tidak hanya bertugas dalam aspek pertahanan, tetapi juga dalam melindungi stabilitas ekonomi. Ketika ekonomi melemah, mata uang tertekan, dan penguasa politik tidak mampu memberikan kepastian, maka militer harus hadir sebagai benteng terakhir.

Kita tidak menginginkan kembalinya otoritarianisme, tetapi kita juga tidak bisa membiarkan negara runtuh hanya karena tatanan sipil gagal bekerja dengan baik. Jika dalam situasi ini militer diperlukan untuk mengamankan kepentingan bangsa, maka revisi UU TNI bukanlah kemunduran demokrasi, melainkan bentuk reformasi yang lebih adaptif terhadap kondisi zaman.

Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang tegas, bukan kepemimpinan yang lemah dan terjebak dalam kepentingan oligarki. Reformasi tidak boleh hanya menjadi slogan kosong—jika supremasi sipil terbukti gagal membawa kesejahteraan, maka sudah waktunya militer mengambil peran lebih besar dalam menjaga stabilitas negara.

Tidak ada negara yang kuat tanpa stabilitas, dan tidak ada stabilitas tanpa kepemimpinan yang tegas. Jika perlu, revisi Undang-Undang TNI harus segera dilakukan untuk memastikan bahwa negara tetap berada di jalur yang benar menuju kejayaan.