Netizen Indonesia, Darurat Akal Sehat, Bermedsos dan Berbohong

Oleh Oppa Jappy (Pemerhati Sosial Politik)

Jawa Barat, ProSiar.com – Mungkin, Anda dan Saya, termasuk orang yang masih ingat kemunculan interaksi virtual lebih dari 20 tahun lalu. Mulai dari adanya internet (plus e-mail dan website sederhana dengan sedikit fitur), kemudian Yahoo Group, Milis, Friendster, Blackbary, Facebook, Google+ dan WatsApp, dan seterusnya.

Semuanya itu, membangun suatu ‘Dunia Baru’ yang disebut Dunia Maya (Dumay); di samping dan berhadapan dengan Dunia Nyata atau Real. Interaksi pada Dumay, tak perlu bertemu atau berhadapan, namun bisa mencapai titik akrab, persahabatan erat, bahkan saling membantu, menolong, serta mencintai.

Tak butuh waktu lama, Dumay menjadi penuh sejumlah platform untuk melengkapi interaksi virtual; semuanya disodorkan oleh Dunia Nyata. Kemudian, semua sodoran tersebut dibungkus menjadi Media Sosial atau Medsos. Dan, kini lebih dari 2/3 Populasi Planet Bumi, termasuk Indonesia, memakai atau menggunakan Medsos.

Coba perhatikan Data ini. Pada Januari 2023, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai tercatat sebanyak 212,9 juta orang. Dari jumlah tersebut, 98,3% pengguna internet di Indonesia menggunakan telepon genggam. Dan, rata-rata orang Indonesia menggunakan internet selama 7 jam 42 menit per hari.

Dari “Waktu untuk Internet” tersebut, platform terfavorit mereka adalah jejaring atau aplikasi Medsos. Bahkan setiap hari mereka habiskan waktu rata-rata 180 menit untuk mengakses Medsos. Tapi, minim menemukan informasi baru, refrensi, membaca artikel, atau pun jurnal ilmiah, serta news yang positif dan bermanfaat.

Mengakses Internet berdasar usia (pada keragaman status sosial dan profesi)

• Kelompok usia 16-24 tahun. Perempuan, rata-rata 193 menit/hari, Laki-laki, rata-rata 163 menit/hari

• Kelompok usia 25-34 tahun. Perempuan, rata-rata 170 menit/hari, Laki-laki, rata-rata 154 menit/hari

• Kelompok usia 35-44 tahun Perempuan, rata-rata 147 menit/hari, Laki-laki, rata-rata 135 menit/hari

• Kelompok usia 45-55 tahun. Perempuan rata-rata 123 menit/hari, Laki-laki, rata-rata 108 menit/hari

• Kelompok usia 55 tahun ke atas. Perempuan, rata-rata 93 menit/ hari, Laki-laki, rata-rata habiskan 78 menit/hari

Dari “Waktu untuk Medsos” tersebut, didapat data bahwa aplikasi Medsos terfavorit digunakan (banyak orang, termasuk di Indonesia), adalah

• WA, rata-rata akses atau lihat setiap 5 Menit

• IG, rata-rata akses atau lihat setiap 30 Menit

• YouTube, rata-rata akses atau lihat setiap 2 Jam

• Selanjutnya search machine seperti google, yahoo, bing, dan opera diakses sesuai kebutuhan atau mencari data, informasi, gossip, lihat foto, dan seterusnya

“Dunia Sekarang Dunia Medsos”

Media Sosial itu bak pisau bermata dua. Media sosial bisa menghadirkan manfaat, tapi juga pula mendatangkan mudarat. Medsos ampuh melumerkan ketegangan, sekaligus sakti dalam memantik permusuhan. Salah satu manfaat besar medsos ialah mekarnya kebebasan berbicara. Itu amat bagus buat demokrasi. Ttapi, mudarat dari membuncahnya kebebasan berbicara itu juga ada.

Kualitas pembicaraan di medsos banyak masih dangkal.

Di Medsos, bebas bicara, bukan bebas berpendapat. Bebas bicara dimaknai asal bicara. Tidak asal bicara berkorelasi dengan adanya argumentasi, bahkan dilengkapi dengan data, fakta, dan perspektif.

Muara dari ‘asal bicara’ itu ialah merebaknya informasi palsu.

Mereka yang amat skeptis menuding bahwa maraknya informasi palsu membuat medsos sebagai ‘gudang kebohongan’. Lebih parah lagi, banyaknya informasi palsu di medsos memicu terjadinya banalisasi kebohongan.

Di Medsos, bohong menjadi hal biasa. Tidak ada implikasi moral. Tidak ada tanggung jawab moral. Bohong, hanya seolah-olah ‘salah memilih kata’. Terjadi ‘relativisasi’ kebenaran. Kebenaran dikaburkan, dijadikan relatif.

Di medsos, narasi dan orasi (hoax, palsu, bohong, menyesatkan) bisa mengalahkan data. Cerita membungkus kebohongan.

Sehingga, cara menyampaikan menjadi lebih penting ketimbang pesan itu sendiri. Yang penting viral, beres. Kualitas informasi dan etika itu nomor sekian. Bahkan, kalau keliru membuat konten atau menulis informasi, tinggal minta maaf, habis perkara.

Namun, Medsos berpotensi berkembangnya sikap kritis. Karena di Medsos tidak dikenal strata, ruang publik kian mendapatkan tempat.

Ada sejumlah fakta yang tersembunyi, atau sengaja disembunyikan, bisa terbuka setelah viral di media sosial. Ada konsumen maskapai yang dirugikan, misalnya, mendapatkan ganti rugi setelah mengunggah kerugian yang dideritanya itu di medsos.

Sejumlah kasus kekerasan seksual juga terungkap setelah korban mengunggah peristiwa di Medsos. Bahkan, terbongkarnya kasus-kasus besar yang melibatkan perwira tinggi Polri, Militer Politisi, sejumlah ASN Korup dan Korup, dan lain sebagainya, juga tidak lepas dari andil Medsos.

Di jagat politik Tanah Air, medsos kini menjadi andalan. Musababnya, berdasarkan survei, sekitar 70% pemilih muda mengandalkan informasi hal ihwal tentang politik dari Medsos. Pemilih muda ini merupakan gabungan pemilih pemula dan yang sudah punya hak pilih pada pemilu sebelumnya, tapi masih berusia di bawah 37 tahun.

Jumlah pemilih muda ini sekitar 40% (sekitar 86 juta) dari 190 juta orang lebih yang punya hak pilih. Bila dua pertiga di antara mereka mengandalkan informasi politik dari internet, itu berarti ada sekitar 60 juta pemilih muda terkoneksi dengan berbagai platform Medsos. Jumlah yang sangat besar untuk mendulang suara, sekaligus menguji ide dan gagasan segar.

Takdir zaman, tidak bisa menolak Medsos, tapi mampukah memanfaatkan mata pisau positif dari media yang diakses puluhan juta rakyat Indonesia itu. Yang penting jangan baperan, mudah tersinggung. (Red)