Jakarta – Dewan Pers diminta meningkatkan kapasitasnya untuk melindungi wartawan serta desakan untuk merevisi UU Pers, mencuat dalam seminar nasional Ikatan Wartawan Online (IWO), pada Senin 5 Agustus 2024.
Seminar bertema “Jurnalisme Investigasi dan Keselamatan Wartawan” ini digelar oleh Pengurus Pusat (PP) Ikatan Wartawan Online (IWO), bertempat di Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok), di Jl. Imam Bonjol No.1, Jakarta Pusat.
Kegiatan yang merupakan rangkaian perayaan HUT IWO ke-12 ini terselenggara atas kerjasama PP IWO, Museum Perumusan Naskah Proklamasi dan Keluarga almarhum Wikana, salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Tati Sawitri, Kania Kinking Pratama dan Remondi Sitakodana, tiga putri alm. Wikana, mantan menteri Pemuda di era Presiden Soekarno dan mantan Gubernur Militer pertama, hadir dalam seminar tersebut.
Dalam diskusi ini, salah seorang putri alm. Wikana, Tati Sawitri menceritakan kisah singkat tentang sang ayahanda. Wikana yang mereka tahu adalah seorang pejuang hebat, yang ikut berjuang demi kemerdekaan bangsa. Namun sayangnya seorang ayah yang sangat menyayangi keluarga hilang entah ke mana, setelah pada tahun 1966 Wikana dijemput paksa oleh 15 orang yang diduga anggota militer. Sejak saat itulah, istri dan anak-anak Wikana tidak bertemu lagi dengannya dan keberadaannya Wikana sampai hari ini tidak diketahui.
Senada dengan putri Wikana, V. Agus Sulistyo selaku perwakilan dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi dalam sambutannya menyampaikan tentang kisah dibalik sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi, yangmana sosok Wikana cukup berperan besar. Menurut sejarah yang disampaikan Agus, Wikana merupakan salah satu dari mereka yang terlibat dalam perumusan naskah proklamasi. Ia berharap kepada awak media agar mau mengangkat tentang sejarah dibalik museum naskah proklamasi yang salah satunya adalah tentang sosok Wikana.
Agus juga mengapresiasi kerja-kerja wartawan yang banyak membantu dalam menggali sejarah, sambil mencontoh proses penggalian kisah selokan Mataram.
“Saat menggali sejarah selokan Mataram (di Yogyakarta-Red), saya harus mencari data-datanya. Saya temukan data itu dari pemberitaan Koran di tahun 1930-an,” ujar Agus menggarisbawahi pentingnya peran wartawan dalam menjejak sejarah manusia.
Agus berharap, kerjasama Munasprok dan IWO dapat berlangsung panjang, untuk menggali sejarah dan memperkenalkannya kepada masyarakat secara luas.
Sementara itu Ketua Umum IWO Dwi Christianto dalam sambutannya menyampaikan tentang keberadaan IWO, kemudian tentang kriminalisasi yang dialami oleh awak media.
“Intimidasi terhadap wartawan masih terus terjadi dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik sehari-hari. Karena itu, kami, IWO, menyelenggarakan seminar ini sebagai pemantik demi kebebasan pers ke depannya,” ujar Dwi Christianto.
Dwi berharap agar ke depannya tidak ada lagi kriminalisasi yang dialami oleh awak media, sehingga wartawan dapat bekerja secara profesional dan menghasilkan karya yang berguna bagi masyarakat luas.
Pembicara pada seminar yang dimoderatori M. Abriyanto, ketua bidang Litbang PP IWO, adalah Dr. Satrio Arismunandar, seorang wartawan senior yang juga Sekjen Satupena dan Sekjen IWO Telly Nathalia.
Satrio dalam paparannya menjelaskan tentang jurnalisme investigasi yang merupakan bagian kegiatan wartawan untuk mengungkap hal-hal yang dirasa tidak benar. Liputan investigasi tentu berbiaya tinggi dan sangat rawan bagi wartawan yang melakukannya mendapat intimidasi.
Di mana secara terbuka ia mengatakan bahwa liputan investigasi berfokus untuk mencari pembuktian atas sebuah peristiwa yang dirasa memiliki kejanggalan. Poin inilah yang menjadi pembeda antara liputan investigasi dan liputan _indepth_ .
“Keselamatan nyawa wartawan lebih penting… Wartawan boleh menolak penugasan jurnalisme investigasi dari pemimpin medianya, jika menyangkut keselamatan jiwa,” tegas Satrio.
Satrio menghimbau wartawan yang ada di daerah-daerah agar bergabung di wadah organisasi profesi seperti IWO.
“Jangan sendiri-sendiri, kalau diintimidasi tidak ada yang tahu. Kalau dalam organisasi, bisa dibantu untuk dilaporkan oleh organisasi sampai ke pusat,” tukasnya.
Sementara itu, Sekjen IWO mengupas tentang masih lemahnya implementasi perlindungan hukum bagi wartawan di Indonesia.
“Sudah ada UU Pers dan Peraturan Dewan Pers yang mengatur perlindungan terhadap wartawan, tapi masih sangat umum, belum spesifik. Bahkan Dewan Pers sudah ada kerjasama (MOU) bersama Polri terkait hal ini, tapi dalam praktiknya masih jauh dari yang diharapkan. Intimidasi terhadap wartawan masih terjadi,” ungkapnya.
Ia mencontoh kejadian yang baru saja dilaporkan dari PD IWO Lampung Selatan tentang intimidasi yang diterima salah satu wartawan anggota IWO di sana, sesaat sebelum seminar dimulai.
Sekjen IWO merekomendasikan pada Dewan Pers agar membuat kanal atau saluran khusus agar pelaporan kasus-kasus intimidasi dari wartawan dapat ditindaklanjuti dengan cepat.
“Perlu segera revisi UU Pers karena klausa mengenai perlindungan terhadap wartawan masih sangat umum, bahkan bisa dikatakan hanya mengulang dari UUD 1945. Di UU Pers juga belum diatur mengenai wartawan yang bekerja di media online atau daring, bagaimana dengan wartawan lepas atau _freelancer_ yang tidak bekerja pada semua media tertentu? Perlindungan hukum seperti apa kepada wartawan masih harus lebih spesifik,” tegasnya memberikan rekomendasi.
Sekjen IWO dalam paparannya dengan tegas mengatakan bahwa wartawan bukan pelaku kriminal, wartawan adalah intelektual, wartawan adalah edukator, serta mengingatkan bahwa pers adalah pilar ke-4 Demokrasi, jangan sampai ada upaya-upaya yang mencoba merobohkan pilar ini. (*)
“Kriminalisasi terhadap wartawan adalah upaya menggerogoti atau merubuhkan pilar ke-4 Demokrasi,” tutupnya. (***)