Sejarah Muhammadiyah Sumenep : Ust. Haji Abdul Kadir Muhammad

Prosiar.com, Sumenep – Ust. Kadir Muhammad –begitu beliau sering dipanggil atau ada yang menyingkatnya Ust. HAKAM—lahir di Surabayapada tanggal 22 Pebruari 1916. Lahir dari keluarga priyayi-santri pasangan Nafisah, seorang wanita dari Sepanjang Sidoarjo, dan H. Mas Muhammad, seorang priyayi-ningrat tinggal di Surabaya. Kadir dibesarkan dalam lingkungan agamis yang pluralis.

Sejak usia 6 tahun, Kadir kecil telah ditinggal ayah ibunya. Di antara saudara-saudaranya yang lain, hanya Kadir kecil yang mau diambil-asuh oleh pamannya, K.H. Mas Mansur. K.H. Mas Mansur adalah adik dari H. Muhammad. Kadir kecil tinggal dan besar dalam asuhan langsung K.H. Mas Mansur. Ia disekolahkan di Madrasah Mufidah yang dikembangkan dengan sistem dan kurikulum Mesir, hingga tamat Madrasah Tsanawiyah pada usia 18 tahun. Sementara, saudara Abdul Kadir yang lain ada yang mendapatkan didikan langsung dari Hasan Gipo, Ketua Tanfidziah NU pertama.

Pada tahun 1934, Kadir remaja diutus oleh K.H. Mas Mansur untuk mengajar di Sumenep, Madura. Saat itu, ada sebuah Madrasah Muhammadiyah yang telah didirikan oleh Raden Musaid Werdisastro. Kebanyakan dari murid Madrasah Muhammadiyah ini adalah cucu-cucu Raden Musaid sendiri. Raden Musaid inilah yang menfasilitasi kegiatan dan berdirinya Muhammadiyah di Sumenep.

Di Pulau Madura, Abdul Kadir muda memulai berdakwah dari lingkungan keluarga besar Raden Musaid. Keberadaannya cepat bisa diterima dan akrab disapa dengan sebutan “Ustadz”. Beliau juga berdakwah di lingkungan Masjid Jamik Sumenep. Demikianlah Ustadz Abdul Kadir Muhammad yang beretnis Jawa tetapi sangat memahami karakteristik orang Madura dan terbukti fasih dalam berbahasa Madura. Karenanya, ia tidak mengalami kesulitan dalam berinteraksi dalam komunitas yang berbahasa dan berbudaya Madura.

Sebelum kedatangan Kadir remaja, K.H. Mas Mansur pernah berinteraksi dengan Raden Musaid. Sebagai ulama muda kharismatik, Kyai Haji Mas Mansur berhasil membawakan kehalusan dakwah yang menyentuh, sehingga memberi pengaruh yang luar biasa kepada pribadi Raden Musaid. Beliau memilih jalan yang tidak biasa ditempuh oleh kebanyakan budayawan dan kaum adat Madura yang mengambil jarak atas gerakan dakwah. Semangat Raden Musaid justru meluap-luap untuk mengikuti cara beragama yang diajarkan oleh Mas Mansur dengan menempatkan agama dan budaya secara proporsional, tanpa mengesampingkan adat-budaya yang bersendi syara’ dan berpilar kitabullah.

Pada tahun 1937, Mas Mansur menyurati Raden Musaid bahwa keponakannya, Kadir Muhammad, menaruh hati kepada salah seorang cucunya bernama R. Fatimatuz Zahra yang telah berusia 14 tahun. Fatimah sendiri adalah cucu R. Musaid dari puterinya, R. Ay. Mariatul Kibtiyah, yang tidak lain juga murid Abd Kadir di Madrasah Muhammadiyah. Maka, jadilah K.H. Mas Mansur berbesan dengan R. Musaid yang sesungguhnya seorang budayawan dan penulis “Babad Songenep”.

Dengan biduk rumah tangga yang baru, Ust Kadir muda semakin aktif dengan dakwah ke desa-desa di wilayah Sumenep. Ia ikut mendirikan dan membina gerakan Nasyiatul Aisyiyah. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan adalah mengajari anggota NA unutk membuat bunga kertas. Yang lebih menarik lagi, lagu mars NA sering dijadikan lagu hiburan pada saat acara perkawinan. Mungkin inilah terobosan Ust. Kadir untuk menyebarkan Muhammadiyah secara kultural.

Ust. Kadir sendiri adalah seorang pegawai Departemen Agama atau –tepatnya—salah satu Panitia Haji Indonesia (PHI). Satu saat, Ust Kadir pernah ditugaskan untuk mengantarkan sejumlah uang ke Jakartadalam rangka urusan haji. Nahas tak dapat dihalang, Ust Kadir yang saat itu membawa uang dalam jumlah besar kecopetan di Kertosono yang saat itu memang terkenal dengan copetnya.

Atas kejadian itu, Ust Kadir dimutasi ke Pulau Keitual, Maluku Tenggara. Dijalaninya pemutasian itu dengan penuh tanggung jawab. Sebagai seorang dai, ia tidak pernah berhenti untuk berdakwah dan mengembangkan Islam. Beberapa tahun kemudian, Ust Kadir diangkat menjadi Kepala Departemen Agama Jawatan Ambon. Beliau sempat mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di sana.

Almarhum Ustadz Haji Abdul Kadir Muhammad dan istri.

Hingga suatu saat, ia “diberhentikan” dari jabatan Kepala dan dibiarkan terkatung-katung tak menentu. Bahkan, tidak digaji selama selama 11 tahun. Puteri sulugnya, Hj. Fauziyah, menuturkan betapa semua yang ia miliki dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya selama beberapa tahun.

Perjalanan mengenaskan ini berawal ketika Ust Kadir dipanggil ke Jakarta. Dalam pertemuannya dengan Menteri Agama saat itu, Ust Kadir disarankan untuk masuk dan aktif di salah satu ormas Islam, karena Ust. Kadir saat itu sangat kental dengan “darah” Muhammadiyahnya. Ust. Kadir menolak. Ironis, belum sampai Ust kadir menapakkan kakinya di Ambon, jabatan Kepala saat itu telah digantikan oeh seorang bernama Ali Fauzi. Ust Kadir tidak memiliki jabatan apapun dan dibiarkan terkatung-katung tanpa gaji dan tunjangan dari negara.

Merasakan getirnya mempertahankan ideologi Muhammadiyah, Ust. Kadir akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, Sumenep Madura. Ia kembali mengajar di Madrasah Muhammadiyah dan aktif berdakwah dari desa ke desa, dari masjid ke masjid.

Pada tahun 1968, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Panarukan (Situbondo) melamar Ust. Kadir untuk menjadi pengasuh pondok Pesantren Modern di Panarukan. Pondok Pesantren yang dirintis oleh Ust. Kadir ini berhasil mendidik kader-kader Muhammadiyah, terutama dari Kepulauan Kangean, Sapeken dan Sepudi. Santri-santrinya mendiaspora ke wilayah Kepulauan Sumenep dan menjadi kader Muhammadiyah di daerahnya.

Namun, karena beberapa hal, Ust. Kadir pun kembali ke Sumenep. Di Sumenep, Ust Kadir muncul tekad baru dalam dirinya. Ia berkeinginan untuk berdakwah ke Pulau Kangean. Ketika hendak berniat berangkat ke Kangean, keluarganya di Sumenep sempat menawarkan tanah dan bantuan dana untuk mendirikan sekolah di Sumenep, agar Ust. Kadir tidak ke Kangean. Bahkan, sebagian putera-puterinya pun tidak menyetujui keberangkatannya ke Pulau Bekisar. Meski akhirnya, putera-puterinya sadar bahwa salah satu manfaat kepergian dakwah ke Kangean adalah untuk menghibur diri dari posisi yang tidak adil di Departemen Agama.

Lebih dari sekedar menghibur diri, ada satu landasan filosofis yang patut diteladani dari Ust. Kadir mengapa ia lebih memilih Kangean daripada Sumenep. Beliau mengatakan, “Oreng Sumenep rea dhung-matedhung. Mon ejagai tak lekas jagha. Lain ben oreng Kangean. Orang Kangean rea tedhung ongguhan. Mon ejagai lekas jagha.”“Orang Sumenep itu pura-pura tidur. Kalau dibangunkan ia hanya pura-pura bangun dan tidak cepat bangun. Sementara, orang Kangean itu tidurnya tidur beneran. Kalau mereka dibangunkan akan cepat bangun sungguhan”. Ungkapan Ust. Kadir ini sebenarnya menggambarkan bagaimana cara berpikir masyarakat Sumenep atau mungkin Madura pada umumnya dalam merespons dakwah Islam dan gerakan dakwah Persyarikatan.

Ust. Kadir masuk Pulau Kangean pada tahun 1974. Pada 1975, beliau membawa isteri dan beberapa putera-puterinya. Berbekal pengalaman dan kedalaman ilmu yang dimilikinya, Ust Kadir memantapkan Muhammadiyah dari sisi kultural dan struktural. Secara kultural, ia mendirikan dan mengaktifkan pengajian. Ia bersama pengurus Muhammadiyah yang sudah ada mendirikan lembaga pendidikan. Menariknya, lembaga pendidikan yang didirikan bersama tokoh-tokoh masyarakat Kangean tidak diberi label Muhammadiyah, melainkan dengan label YPPMI, Yayasan Pondok Pesantren Modern Islamiyah.

Dari Yayasan inilah lahir Madrasah Tsanawiyah (1976), baru kemudian mendirikan Madrasah Diniyah Ibtidaiyah Darul Arqam (1977). Belakangan, MI ini berubah menjadi Madrasah Diniyah Darul Arqam, karena terlibas aturan Pemerintah yang tidak mengakui MI masuk sore. Ust. Kadir juga merintis TK At-Taqwa (1978) yang belakangan menjadi TK Aisyiyah Bustanul Athfal At-Taqwa, di mana pengelolanya bukan ‘Aisyiyah melainkan Yayasan tersebut. Ust Kadir membuka sekolah tingkat Madrasah Aliyah (1982) yang berkembang menjadi SMA Muhammadiyah 3 Arjasa Kangean. Hingga kini, semua jenjang pendidikan yang tidak berlabel Muhammadiyah ini tetap eksis dan berkembang, meski berada di luar lajur struktural Muhammadiyah.

Ust Kadir nampaknya paham betul betapa label “Muhammadiyah” masih belum menguntungkan untuk membangun sebuah kultur berbasis ideologi Muhammadiyah. Nuansa perbedaan yang tidak kondusif ini memaksa the founding fathers Muhammadiyah di Kangean untuk ber-taqiyah, menyembunyikan ideologi dan label Muhammadiyah untuk sementara waktu –meski metode dan kurikulumnya khas asli Muhammadiyah. Dalam sistem pengajaran lembaga pendidikan ini ada mata pelajaran Kemuhammadiyahan, kegiatan Hizbul Wathan, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan sebagainya.

Dengan strategi semacam ini, lembaga pendidikan yang “di dalam Muhammadiyah dari luar berbau NU” ini bertahan dan lebih fleksibel dalam memasuki ranah birokrasi pemerintah dan, terutama, Departemen Agama yang seringkali rasialis-keormasan. Ia akan dipandang lebih tahan banting dari terpaan perbedaan yang tajam, dan terasa seakan tiada beda dengan yang lain. Ust. Kadir sendiri tidak menjabat sebagai Ketua Yayasan tersebut. Yayasan tersebut diketuai oleh Sudomo yang belakangan menjadi Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.

Selama berada di Kangean inilah Ust Kadir berkirim suratke Menteri Agama. Setelah limakali, persis pada masa Prof. Dr. Mukti Ali, permohonan gaji Ust Kadir diterima –meski dipotong. Pada tahun 1983, Ust Kadir pulang ke Sumenep dalam rangka pengobatan isteri tercintanya. Karena begitu cintanya Ust Kadir pada Kangean, beliau sempat meminta ijin untuk berlayar ke Kangean pada waktu sehari sebelum isterinya meninggal. Meski sempat kembali Kangean, setahun kemudian, 1984, Ust Kadir dipanggil Allah. Ia meninggalkan 15 orang anak: Fauziyah (lahir 1938) yang pernah menjabat Ketua PDA Sumenep 3 periode, Nafisah (1939), Mutmainnah (1940), Hasananiyah, Jamal Qadri (1944), Mardiyah (1946), Zuhriyah (1948), Hamidah (1950) pernah menjadi Kepala Madrasah MTs YPPMI dan Ketua PCA Arjasa Kangean, Rukayyah (1952), Rahmaniyah (1953), Nanik Jauliyah (1955), Diah Khalidah (1957) menjadi Ketua PCA Arjasa Kangean, Muhaimin Qodri (1959), Hanifah (1961) dan Raihanah meninggal pada usia 33 hari.

Salah satu yang membuat kalangan non-Muhammadiyah di Kangean sungkan kepada Ust Kadir adalah kemampuan manajerial kepemimpinannya. Beliau bukanlah tokoh lokal Kepulauan melainkan pendatang, sehingga membuat kalangan non-Muhammadiyah saat itu “gentar” dengan kehadirannya. Mungkin “jam terbang” yang pernah beliau lakoni menjadikannya sebagai ikon baru saat itu. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

#muhammadiyah #mpippmuhammadiyah #muktamar muhamamdiyah 2020

Link: https://pwmu.co/161862/09/13/haji-abdul-kadir-muhammad-tokoh-dakwah-kangean-dari-surabaya/