Syafrudin Budiman Intelektual Muda Apresiasi Buku Lembaran Pertama Anas Urbaningrum

Syafrudin Budiman SIP saat bersama Anas Urbaningrum pada Hari Pers Nasional di Surabaya Tahun 2012, satu hari sebelum ditetapkan tersangka oleh KPK RI.

Jakarta – Pagi itu pukul 09.00-11.30 WIB kawasan Jl. Prof. Dr. Soepomo, Tebet Jakarta Selatan sedikit hujan gerimis. Sebuah gelaran peluncuran dan diskusi buku ‘Halaman Pertama Anas Urbaningrum: Sumpah Monas, Tantangan Mubahalah, dan Proyek-Proyek Lainnya’ di Sadjo Cafe Jl. Prof. Dr. Soepomo 33A, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (5/2/2022).

Tampak hadir I Gede Pasek Suardika Aktivis Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) yang juga sahabat Anas Urbaningrum. Pasek sapaan akrabnya saat ini bersama loyalis Anas Urbaningrum lainnya mendirikan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan ia dipercaya sebagai Ketua Umum.

Tampak juga hadir juga Direktur Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi menjadi pembicara di peluncuran buku berjudul Halaman Pertama Anas Urbaningrum karya Tofik Pram. Selain juga hadir para panelis dan Suparji Achmad sebagai Narahubung acara.

Suguhan roti, kentang, kopi, lemon tea, air mineral merk aqua dan serta sate ayam Madura menambah nikmatnya acara diskusi. Walau suasana diluar dingin karena gerimis hujan, namun di dalam Cafe Sadjo suasana agak panas penuh rasa murka atas ketidakadilan hukum yang diterima Anas Urbaningrum.

Syafrudin Budiman SIP Intelektual Muda yang juga wartawan senior yang hadir pada acara peluncuran dan diskusi buka memberikan apresiasi atas terbitnya buku Lembaran Pertama Anas Urbaningrum. Aktivis dan Ketua DPP IMM Periode 2006-2008 ini mengaku mengenal sosok Cak Anas sapaan akrabnya sebagai tokoh muda yang santai dan memiliki dedikasi.

“Terbitnya buku Lembaran Pertama ini menjawab misteri dan keraguan publik atas kejadian sebenarnya. Orang bisa  melihat dari mata hati, bukan hanya proses hukum secara formil semata,” kata Gus Din sapaan akrab Syafrudin Budiman SIP yang juga pendiri dan Ketua Umum Partai UKM Indonesia ini.

Menurut Gus Din, sebagaimana kata Jimly Asshiddiqie SH Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hukum tidak tergantung pada hukumnya, tetapi tergantung pada penegaknya.

“Ya kalau hukumnya pasti positif. Tapi kalau penegaknya ada intervensi politik, pesanan, target atau kepentingan kekuasaan, maka penegaknya bisa melakukan kehendak-nya,” jelas pria asal Sumenep Jawa Timur lulusan Sarjana Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) ini.

Katanya, banyak pemimpin-pemimpin dunia yang baik dihukum berdasarkan kepentingan kekuasaan atau kekuatan militer. Sebut saja Mursi di Mesir dihukum mati oleh Junta Militer, Aung San Suu Kyi di Nyanmar dipenjara karena tuduhan tidak masuk akal oleh Junta Militer. Bahkan Sutan Sjahrir Mantan Perdana Menteri RI dan tokoh kemerdekaan dipenjara di jaman Soekarno karena beda pandangan politik.

“Kadang alasan pelanggaran hukum, tuduhan korupsi, pencucian uang dan lainnya dijadikan argumentasi. Padahal dari kacamata publik orang bisa melihat mana pelanggaran hukum yang sesungguhnya atau peradilan yang dibuat-buat,” terang Mantan Wartawan Surabaya Post 2022-2023 ini.

Ia juga mengatakan, hukum yang subjektif tergantung penegaknya karena faktor kepentingan, menjadi senjata makan tuan bagi Abraham Samad (AS) Bambang Widjojanto (BW) menjadi anggota Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). AS jadi tersangka pemalsuan dokumen catatan sipil dan BW jadi tersangka keterangan palsu dalam kasus Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010.

“Kasus AS dan BW menyebabkan keduanya dinonaktifkan sebagai Ketua dan Wakil Ketua KPK. Walaupun kasusnya akhirnya menguap, karena Jaksa Agung HM Prasetyo telah mendeponering atau mengesampingkan mengakhiri, dan menutup perkara kasus yang menjerat mantan AS dan BW,” katanya.

Hal ini kata Gus Din, Jaksa Agung mendeponering AS dan BW usai meminta pertimbangan DPR, MA, dan Kapolri, dengan alasan semata-mata demi kepentingan umum. Sementara katanya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang berpendapat bahwa keputusan tersebut merupakan pembelajaran agar hukum di Tanah Air semakin baik.

Saut Situmorang kata Gus Din juga mengatakan, kejadian AS dan BW adalah Roller Coaster pembangunan hukum yang terus akan berjalan di negeri ini. Dimana semua orang bisa salah, tapi hidup dalam keadaaan tertentu, tidak hanya dilihat sebagai hitam dan putih saja. Kata kuncinya kata Saut Situmorang, adalah keyakinan dan niat baik dapat mengalahkan niat jahat.

“Aneh kan hukum di Indonesia. Tentu statemen Saut Situmorang ini juga sangat bisa menimpa proses hukum kepada Anas Urbaningrum. Dia dituduh mencuci uang, padahal tuduhan korupsinya tidak terbukti. Logikanya korupsinya terbukti, maka otomatis pencucian uangnya terbukti. Nah yang menjadi tuduhan pencucian uang dimana?,” heran Gus Din menutup pendapatannya.

Anas Urbaningrum Siap Debat Terbuka dengan AS dan BW

Loyalis Anas Urbaningrum, I Gede Pasek Suardika, mengatakan siap mendampingi Anas Urbaningrum untuk berdebat dengan sejumlah pihak yang telah menjeratnya secara politis ke ranah hukum.

Secara spesifik, Pasek mengatakan nama-nama yang dulu duduk di pucuk pimpinan KPK, di antaranya Abraham Samad dan Bambang Widjojanto (BW).

“Beliau senang (berdiskusi dengan mereka). Kalau saya suruh temani senang juga. Tapi Mas Anas sendiri sudah mampu menyelesaikan itu, karena itukan fakta kan. Atau kalau mau pembukaan oleh kita-kita dulu boleh juga, sebelum Mas Anas keluar,” kata Pasek dari sumber media tribunnews.com

Dia sendiri menegaskan keinginan Anas untuk berdiskusi dengan orang-orang tersebut murni tanpa ada kebencian.

“Murni membacanya dari sudut case. Beliau didakwakan soal harrier, ayo kita bedah seperti apa. Nanti pakar hukum dan mahasiswa fakultas hukum akan menganalisis itu. Live saja,” katanya.

“Kemudian BW yang paling getol menambahkan bahwa penyidikan dan proyek-proyek lainnya itu, dia bisa menjelaskan argumentasinya pasal berapa dasar hukumnya apa, nanti dibantah oleh mas Anas. Jadi didiskusikan aja, berani enggak?” pungkasnya.

Sebelumnya, Pasek mengungkapkan bahwa rekannya itu dihabiskan secara politik oleh kelompok berkuasa saat itu di tengah mengabdikan diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Menurutnya, debat yang diinginkan Anas Urbaningrum itu tak terbesit rasa dendam dan rasa kebencian.

Namun, Anas Urbaningrum hanya ingin rasa keadilan yang benar-benar terang terhadap dirinya.

Biarkan pakar-pakar hukum menilai kasusnya. Sayangnya cita-cita Mas Anas ini setelah keluar ini sudah tidak terkabulkan satu, yaitu yang mengadilinya karena keburu Pak Artijo sudah meninggal. Karena Pak Artijo yang melipatgandakan hukuman,” terangnya.

Pasek juga mengatakan, menurut rencana Anas Urbaningrum akan bebas pada tahun 2022 ini.

Diketahui, Hakim Mahkamah Agung (MA) kembali menyunat hukuman narapidana kasus korupsi melalui putusan peninjauan kembali (PK)

Kali ini vonis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang disunat menjadi 8 tahun penjara.

Anas diadili terkait kasus pencucian uang. Di tingkat kasasi, Anas dihukum 14 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan.

Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.

Tidak terima atas putusan kasasi, Anas mengajukan PK pada Juli 2018.

Dalam putusan PK yang diadili Wakil Ketua MA bidang non-yudisial Sunarto dan anggota majelis yaitu Andi Samsan Nganro serta Prof M Askin, mengurangi hukuman Anas menjadi 8 tahun.

“Menjatuhkan pidana terhadap Anas Urbaningrum dengan pidana penjara selama 8 tahun ditambah denda Rp 300 juta subsidair tiga bulan,” kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Rabu (30/9/2020).

Islah Bahrawi: Anas Urbaningrum Disingkirkan SBY Demi Merebut Demokrat

Cikeas, yang diidentikan dengan klan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memaknai sebuah partai terlalu berlebihan karena menganggap Partai Demokrat seperti “agama”.

Sehingga, berbagai cara pun dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang justru mempertahankan Partai Demokrat. Dalam hal ini mempersekusi Anas Urbaningrum yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Begitu disampaikan Direktur Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi dalam sebuah diskusi dan bedah buku “Halaman Pertama Anas Urbaningrum” sebagaimana sumber media rmol.com

“Cikeas ini memeluk partai itu seperti memeluk agama. Dan Mas Anas ini adalah orang yang dianggap akan memurtadkan,” kata Islah.

Dengan analogi itu, Islah menyebut Cikeas seperti orang yang mabuk agama hingga mengkafir-kafirkan orang.

“Nah inilah takfiri itu terjadi. Makanya orang (yang dianggap) kafir itu harus dipenjarakan. Kurang lebih seperti itulah,” cetusnya.

Islah mengaku masih ingat betul bagaimana Anas Urbaningrum dipersekusi oleh kekuasaan pada waktu itu hingga akhirnya terjerat kasus hukum dan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Ketika Mas Anas menjadi Ketua Umum, saya juga udah ada di DPP Demokrat. I Gde Pasek waktu itu di Departemen Olahraga. Saya di (Departemen) Pengentasan Kemiskinan. Jadi memang di awal masa kepengurusan Mas Anas, Mas Anas itu sudah dipersekusi secara mekanisme partai,” tuturnya.

Menurut Islah, adalah sebuah perumpamaan yang pas seperti dalam buku berjudul “Halaman Pertama Anas Urbaningrum” itu disebutkan bahwa Anas Urbaningrum ibarat bayi yang tidak dikehendaki untuk lahir.

“Inilah sebuah brutalitas dengan gaya SBY dengan bullshit humble itu dia berusaha memframing sedemikian rupa dengan orkestrasi-orkestrasi yang menormalisasi kejahatan. Ini sejak awal saya melihat itu. Makanya saya tegak lurus. Bagaimana ini adalah perlakuan tida adil oleh kekuasaan,” pungkasnya.

Deskripsi Buku Lembaran Pertama Anas Urbaningrum

Dikutip dari mizanstore.com berikut diskripsi pokok Buku Lembaran Pertama Anas Urbaningrum. Sisipolitis-humanis, yang sebenarnya merupakan saripati intrinsik dari diri Anas Urbaningrum, hampir tak pernah dijelaskan kepada publik. Iakadung divonis sebagai penggangsi ruang rakyat. Ruang sidang opini telah menempatkan Anas dalam posisi yang sangat tidak adil dalam persepsi sebagian warga negara ini.

Inilah dampak jangka panjang dari konstruksi opini tentang sosok Anas Urbaningrum di masa lalu. Betapa narasi dan wacana yang dibangun kala itu benar-benar membungkus Anas dalam stigma negatif, sehingga dia sudah ‘divonis’ bahkan jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Segala bentuk informasi yang bisa meringankan Anas seolah tidak disajikan secara adil kepada publik. Apa pasal? Sebab, konstruksi narasi yang dibangun waktu itu adalah: Anas harus salah. Dia harus pergi.

Buku ini coba menghadirkan narasi alternatif tentang Anas,menghadirkan sisi lain perjalanan kasusnya, untuk mengajak pembaca agar mau mencoba adil sejak dalam pikiran. Sekaligus mengingatkan agar hati-hati bahwa politik berbiaya tinggi itu bisa menyebabkan kontroversi hati’. (red)

Editor: BS