Prosiar, Surabaya – Sejumlah orang melakukan aksi membentangkan spanduk di depan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, berisi peringatan atas mafia tambang yang masih berkeliaran, dengan modus praktik Hostile Take Over jadi senjatanya.
Praktik Hostile Take Over merupakan cara konvensional yang biasa digunakan oleh mafia tambang. Lalu bagaimana praktiknya?
Salah satu praktik mafia tambang adalah melakukan upaya sedemikian rupa untuk mengambil alih perseroan pemilik sah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dengan menggunakan proses hukum yang seolah-olah legal melalui perjanjian-perjanjian yang dibuat yang tujuan akhirnya mengambil alih perseroan yang mempunyai IUP tersebut.
Dalam aksinya mafia tambang akan melakukan pendekatan kepada targetnya, biasanya pendekatan kepada pemegang saham mayoritas perseroan yang memiliki IUP dengan dalih menjadi bagian dalam manajemen perusahaan untuk memajukan kelangsungan usahanya.
Atau bisa juga mengadakan perjanjian-perjanjian terkait kebutuhan perseroan, misalnya perjanjian tentang pekerjaan pengeboran lahan milik IUP perseroan, kerjasama pengolahan tambang, dan lain sebagainya yang perjanjiannya dibuat sedemikian rupa sehingga perseroan yang memiliki IUP tersebut mempunyai kewajiban/utang atas perjanjian-perjanjian tersebut.
Selanjutnya perseroan yang tidak dapat membayar kewajibannya akan dipaksa menjual saham-sahamnya bahkan dipaksa melakukan akuisisi dengan perseroan lain.
Seperti yang terjadi pada PT Banyu Telaga Mas (BTM), yang mana telah diajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Adhikara Putra Mandiri selaku Pemohon PKPU yang telah didaftarkan pada tanggal 5 April 2023 di Pengadilan Niaga pada PN Surabaya dengan Nomor Register Perkara: 37/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Sby.
Dalam permohonannya PT Adhikara Putra Mandiri mendalilkan bahwa antara PT Adhikara Putra Mandiri dengan PT Banyu Telaga Mas telah terjadi perjanjian atas pekerjaan pengeboran pada lahan IUP milik PT Banyu Telaga Mas di Kalimantan Utara dengan nilai pekerjaan yang tidak wajar yaitu sebesar Rp34,9 miliar.
Terhadap perjanjian tersebut PT Banyu Telaga Mas sama sekali tidak mengetahui karena dalam perjalanan kepengurusannya PT Banyu Telaga Mas telah mengalami beberapa kali perubahan kepengurusan.
Dengan adanya permohonan PKPU tersebut sebelumnya PT Banyu Telaga Mas tidak pernah mendapatkan relaas/panggilan sidang dari Pengadilan Niaga pada PN Surabaya, yang mana sidang telah berjalan dua kali tanpa kehadiran PT Banyu Telaga Mas selaku Termohon PKPU.
“Kami tidak pernah mendapatkan relaas atau panggilan sidang, justru info adanya permohonan PKPU malah diinfokan langsung kepada saya melalui nomor WhatsApp yang tidak dikenal”, ujar Budy Santosa selaku Komisaris Utama PT Banyu Telaga Mas, dalam keterangannya.
Menanggapi aksi mafia tambang yang tidak ada habisnya, Rudy Hartono selaku Kuasa Hukum PT Banyu Telaga Mas memberikan advise agar perusahaan-perusahaan tambang dalam melakukan perjanjian-perjanjian dengan pihak lain selalu didampingi oleh advokat untuk menghindari adanya praktik Hostile Take Over, apalagi jika mafia tambang berkolaborasi dengan mafia hukum maka praktik ini akan terus berkembang yang kemungkinan akan sangat sulit ditangani.
“Cara-cara ini sudah sangat lumrah dilakukan oleh mafia tambang, banyak yang terjebak dengan iming-iming dapat untung besar,” katanya dalam rilis yang diterima pada, Minggu (14/5/2023).
Seharusnya, lanjut Rudy, perusahaan-perusahaan tambang harus selalu didampingi advokat ketika teken perjanjian, disinilah peran penting advokat.
“Praktik ini akan terus berkembang jika tidak dihadapi dengan serius, apalagi mafia tambang dalam melakukan aksinya pasti ada mafia hukum dibelakangnya, jika praktik kejahatan ini tidak dibenahi segera, mungkin kita kesulitan menghadapi praktik kejahatan yang terus berkembang”, tandas Rudy. (red)