Jakarta, ProSiar.com – Solidaritas Masyarakat Indonesia Timur (SMIT) kembali mendatangi kantor Kementerian Sosial (Kemensos) RI, Kamis (21/9/2023) lalu. Hal ini terkait dengan perkembangan eksekusi dana restitusi korban konflik masyarakat yang merebak di daerah Maluku, Maluku Utara hingga Sulawesi Tenggara 1999-2000.
Masyarakat yang berjumlah sekitar 50 orang berorasi di seputaran gerbang Kemensos dengan membawa 3 tuntutan. Di-antaranya Kementerian Sosial tidak boleh lari dari tanggung jawab sebagai lembaga negara untuk memberikan perhatian kepada korban konflik.
Selanjutnya, mendesak Kemensos RI untuk segera melaksanakan putusan pengadilan sesegera mungkin. Kemudian massa aksi meminta Mensos Tri Rismaharini segera meng-assesment pencairan dana konflik Maluku, Maluku Utara hingga Sulawesi Tenggara.
M. Armed ngabalin Aktivis SMIT saat diwawancarai, Senin (25/9/2023) di Jakarta mengatakan, masyarakat yang tergabung dalam SMIT meminta pemerintah jangan mengabaikan korban konflik horizontal. Sebab, efek yang ditimbulkan menyebabkan traumatis yang mendalam bagi masyarakat.
“Sampai hari ini masyarakat terdampak konflik masih memiliki trauma atas kejadian ini dan sampai ada yang mengisolasi diri dari zona konflik Negara harusnya menjadi instrumen dalam menjaga keamanan dan kenyamanan warganya, dan ini tertuang dalam konstitusi,” ucapnya.
Menurut Armed sapaan akrabnya, saat ini terjadi pembangkangan terhadap apa yang menjadi tanggung jawab negara dan mengingkari putusan pengadilan. Dimana pengadilan sudah memberikan kepastian hukum atas dana pengungsi Maluku, Maluku Utara hingga Sulawesi Tenggara.
“Negara jangan hadir hanya sekedar mengeksploitasi kekayaan dari timur, namun abai dalam hal tanggung jawab sebagai penjamin kesejahteraan dan kenyamanan hidup masyarakat,” ucapnya.
Sementara itu Koordinator Aksi SMIT Meshak Habari juga menimpali jika hal ini masih dipersulit, maka bukan tidak mungkin akan menjadi bola salju yang bisa mengakumulasi trauma konflik hingga menjadi isu perpecahan NKRI.
“Jangan ini dianggap dan dilihat hanya sebagai permasalahan administratif dan statistika belaka dengan mengesampingkan kejahatan kemanusiaan akibat dari kerusuhan. Jangan salahkan kami jika kami akan memilih untuk memisahkan diri dari NKRI,” ungkapnya.
Katanya, keresahan dan pandangan terkait dengan tuntutan tersebut, saat aksi juga melakukan semi teatrikal dengan membakar ban bekas. Sikap ini dikatakan sebagai bentuk kekecewaan mereka terkait pemerintah yang terkesan berbelit-belit dan buang badan di sesama lembaga kementerian.
“Jangan anggap aksi yang kami lakukan hari ini untuk mengemis maupun meminta. Kami datang untuk menuntut hak kami dan meminta pertanggungjawaban atas dana pengungsi korban konflik,” tegasnya.
Bahkan kata Betran Sulani pria asal Maluku Utara, tuntutan ini sudah sampai ke ranah meja hijau yang menghasilkan putusan untuk dana pengungsi agar segera dicairkan oleh Kementerian Sosial.
Untuk diketahui konflik yang dibawakan oleh masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Indonesia Timur (SMIT) adalah konflik horizontal yang terjadi pada tahun 1999-2000 di tiga daerah seperti Maluku, Maluku Utara hingga Sulawesi Tenggara.
“Konflik yang terjadi akibat gesekan agama tersebut menyebabkan hampir sejuta masyarakat mengungsi, dan pada tahun 2003 melalui inpres yang dikeluarkan oleh presiden Megawati Soekarnoputri menginstruksikan agar negara memberikan bantuan dana kepada para masyarakat yang terdampak,” ujarnya.
Namun kata Betran, berselang berapa tahun semenjak konflik dana tersebut belum juga dicairkan secara menyeluruh, hingga membuat masyarakat melalui kuasa hukum terkait membawa permasalahan penyelesaiannya ke ranah hukum.
“Putusan dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung sampai di tingkat kasasi menyatakan bahwa negara harus segera mengeluarkan dana dari Kemenku. Namun dengan assesmen Kemensos belum memberikan jawaban atas pelaksanaan eksekusi putusan tersebut,” tutupnya. (red)