Oleh: Jacob Ereste
Nusantara itu sebagai password jagat yang bisa mengungkap banyak rahasia tentang bumi yang memang patut dibuka, kata Satya Titiek Atyani Djoedir, Wakil Bupati Barito Selatan membenarkan hasil diskusi yang diselenggarakan Arsip Nasional RI, Rabu 9 Februari 2022, saat ngopi bersama tokoh spiritual Eko Sriyanto Galgendu dan Yusuf Mujiono, Pemimpin Umum Majalah Gaharu di Muara Karang, Kamis seusau subuh, 10 Februari 2022.
Obrolan ikhwal spiritual pun terus melebar hingga sepakat untuk segera menyelenggarakan acara diskusi publik terbuka tentang Nilai-nilai Spiritual Yang Dimiliki Bangsa Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dunia ini dibuat sudah penuh dengan misteri, namun tak seorang pun paham bagaima proses terjadinya, lalu arsiteknya siapa, kata tokoh spuritual Indonesia Eko Sriyanto Galgendu mulai memancing pembicara lain untuk menelisik lebih jauh hal ikhwal spiritual yang maha luas bila hendak dijelajahi dari berbagai sudut pandang.
Bahwa jalan terang — spirtus yang menyala dengan api birunya yang suci menerangi jagat, menjadi pedoman jalan yang terpusat menuju Tuhan pencipta alam semesta.
Begitulah titik temu bersama banyak pihak, termasuk dengan para bunda yang tak hanya ada di Jakarta, tapi juga ada tokoh wanita asal Kalimantan Tengah, Bunda Satya, kata Eko membuka pembicaan dan memperkenalkan.
Gerakan Moral yang diidealkan GMRI memang senantiasa berada pada posisi di tengah untuk terus menemukan titik temu, sehingga sejumlah titik-titik dari yang ada akan bertautan antara yang satu dengan yang lain. Dan sebagai penyeimbang dalam memaknai hidup dan kehidupan, maka spiritualitas yang akan mewarnai tata kehidupan kata Eko Sriyanto Galgendu memaparkan gerak lurus GMRI membangun kebangkitan kesadaran spiritual, hingga diharap dapat melahirkan pimpin spiritual yang sejati untuk menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari ancaman kehancuran.
Sebelum acara minum kopi, Bunda Satya sempat keliling pasar Muara Karang sambil membeli sejumlah makanan kesukaannya. Laku spiritual serupa ini menurut Eko Sriyanto Galgendu setelah 25 tahun menekuni laku spiritual, tetap dia lakukan. Meski baru sekarang bisa memahami bahwa dalam laku spiritual di berbagai tempat, makna kembang yang menjadi bagian dari bentuk sesaji itu, sekedar simbolik dari kepasrahan diri. Namun bagi dirinya yang tak pernah mampu membawa bunga, karena sungguh tak punya uang untuk membeli, justru lebih dakhsyat kekuatan yang bisa diperoleh, sebab yang bisa diberikan adalah jiwa dan raganya yang pasrah. Lega lila, tanpa apa-apa. Sebab selain dari jiwa dan raga — karena sekedar untuk ongkos saja ketika itu dia sungguh tak punya untuk terus berjalan melakoni spiritual yang dia yakini. Begitulah, katanya bagian dari keajaiban yang menjadi bagian dari milik Tuhan.
Setelah 25 tahun terlampaui, laku spiritual yang terus dilakukan sampai hari ini, seperti tak lagi memiliki beban. Semua seakan mengalir seperti air yang tercurah dari langit. Usaha kulinernya relatif pesat terus melesat. Hingga tak sedikit orang yang bisa ikut menikmati rizki yang bercurahan baginya.
Sungguh banyak orang bisa ikut menikmati hasil dari perjuangnya yang gigih dan tangguh itu.
Dan topik tentang jurik pun sempat juga terbahas. Karena memang sikap jurik itu bagian dari sikap pamali yang harus dijauhi dalam laku spiritual. Apalagi terkait dengan hasrat lagecy yang hanya untuk keriaan semata. Karena lagecy itu sendiri boleh saja dilakukan untuk hal yang baik serta jelas kemanfaatannya bagi rakyat banyak.
Namun lagecy yang cuma ingin membusungkan dada, bukan saja tidak bijak, tapi ketakusan serta sikap ambisius dan egoistik yang harus dihindari. Sebab sikap ria serupa inilah yang dapat membatalkan laku spiritual yang murni dan sesungguhnya.
Dalam kontek ini nyanyian “jangan ada dusta diantara kita” jadi mengena untuk dipahami sebagai bagian rangkaian untuk menyelami lebih jauh dasar dari kedalaman pemahaman kesejatian dari spiritual yang sesungguhnya, kata Eko Sriyanto menutup kisah yang dia tautkan dengan pejalanan spiritual pribadi yang ditekuninys sejak 25 tahun itu sampai sekarang.
Muara Karang, 10 Februari 2022