Prosiar.com, Labuan Bajo – Persidangan lanjutan kasus sengketa tanah Keranga yang digelar di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada Senin (24/6) kemarin kembali memunculkan ketegangan dengan menghadirkan saksi dari pihak tergugat. Kasus ini semakin kompleks dengan berbagai kesaksian yang menyingkap keterlibatan tokoh-tokoh kunci dan indikasi penyimpangan administratif.
Dalam sidang tersebut, pihak ahli waris Niko Naput menghadirkan saksi bernama Miseltus Jemau, yang mengaku dekat dengan alm. Niko Naput sejak tahun 1996. Keterangan dari Miseltus memperkuat dugaan dari keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta atas keterlibatan Haji Ramang dan Syair, fungsionaris adat Nggorang, dalam proses pengukuran tanah yang berujung pada penerbitan lima Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh BPN Manggarai Barat atas nama keluarga Niko Naput.
Pihak ahli waris dari Alm. Ibrahim Hanta (pihak penggugat) menyebut bahwa berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh saksi tergugat dalam menjawab pertanyaan Majelis Hakim dalam persidangan tersebut, sangat jelas dan memperkuat dugaan adanya keterlibatan dari Haji Ramang dan Syair selaku fungsionaris adat Nggorang yang jadi pemicu hingga terbitnya 5 Sertifikat Hak Milik di BPN Manggarai Barat atas nama keluarga ahli waris alm. Niko Naput.
“Fakta persidangan kemarin bahwa saksi tergugat yang sudah bersumpah di hadapan majelis Hakim ia mengatakan Haji Ramang dan Syair hadir di lokasi saat melakukan pengukuran pada tahun 2014. Jadi itu fakta persidangan kemarin. Selain dua orang ini, saksi juga menyebut bahwa hadir juga dari pihak BPN Manggarai Barat,”jelas Suwandi Ibrahim, ahli waris almarhum Ibrahim Hanta Selasa, 25 Juni 2024 siang.
Dalam persidangan, ketika hakim menanyakan keberadaan warkah asli sebagai dasar penerbitan SHM, saksi tergugat mengaku bahwa dokumen tersebut telah diserahkan kepada BPN Manggarai Barat pada saat pengajuan penerbitan SHM di BPN. Sementara dalam persidangan yang digelar sebelum-sebelumnya, pihak ahli waris almarhum Ibrahim Hanta mengaku bahwa pihak BPN Manggarai Barat selaku turut tergugat hingga saat ini belum mampu menunjukan bukti Warkah asli penyerahan adat tersebut. Adapun yang ditunjuk oleh BPN hanya dokumen fotocopy. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai validitas proses administrasi yang dilakukan oleh BPN.
Suwandi Ibrahim, ahli waris alm. Ibrahim Hanta, menegaskan bahwa fakta persidangan menunjukkan Haji Ramang dan Syair hadir di lokasi pengukuran pada tahun 2014, bersama dengan pihak BPN Manggarai Barat. Ini bertentangan dengan pernyataan Haji Ramang pada tahun 2013 yang menyatakan bahwa ia tidak berhak lagi menata atau membagi tanah tersebut.
“Ternyata tahun 2014 Ramang mengingkari lagi pernyataan secara rertulis yang telah ditandatangani diatas materai, dan disaksikan oleh 8 orang tokoh, kok kenapa dia bisa hadir lagi di lokasi pada tahun 2014 itu untuk melakukan pengukuran dan pengukuhan. Ini juga kan pengakuan saksi tergugat dalam persidangan kemarin,” ungkap Suwandi
Suwandi katakan bahwa pengakuan saksi tergugat yang telah disumpah kemarin itu bahwa tanah seluas 11 hektare yang saat ini sudah terbit 4 gambar ukur dari BPN Manggarai Barat itu berdasarkan pengukuhan dari Haji Ramang ke Beatriks Seran (Istri Niko Naput,red) pada tahun 2015. Selain itu saksi juga menyebut lokasi tanah milik Betriks seran berada dibawah jalan dan dasar penerbitan SHM itu menggunakan warkah penyerahan Ishaka tahun 1989 yang kemudian dikukuhkan ulang oleh haji Ramang tahun 2015. Sedangkan lokasi tanah seluas 16 hektar milik Niko Naput dibeli dari Nasar Supu dengan surat penyerahan adat 10 Maret 1990.
Terkait dengan jumlah luas tanah yang disebutkan dalam persidangan, Suwandi Ibrahim mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara luas tanah yang tercantum dalam akta PPJB di Notaris Billy Ginta dengan keterangan yang diberikan oleh saksi tergugat. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kesesuaian dan kejelasan batas-batas tanah yang menjadi sengketa.
“Kemarin saksi tergugat menyebutkan total tanah milik Niko Naput di Kerangan itu yaitu 27 hektar dengan rincian 10 hektar atas nama Beatrix Seran dan 16 hektar atas nama Niko Naput. Namun yang menjadi pertanyaan kenapa luas di akta PPJB di Notaris Billy Ginta seluas 40 hektar? Pertanyaanya 13 hektar itu letaknya dimana?. Hal ini juga yang ditanyakan oleh kuasa hukum kami kemari kepada saksi tergugat. 13 hektar itu termasuk tanah Pemda? Namun saksi menjawab tidak tahu,” ungkap Suwandi
Suwandi juga membenarkan bahwa pada tahun 2014, keluarga Niko Naput bersama BPN Manggarai Barat melakukan pengukuran di lokasi sengketa.
“Saat pengukuran itu, yang hadir Lurah Labuan Bajo atas nama Abdull Lipur, Camat Komodo atas nama Abdullah Nur yang sekarang lagi ada di Penjara, berikutnya ada Haji Ramang, ada juga anggota dari BPN Manggarai Barat yang mana saat itu mereka ada bawah alat untuk pengukuran, terus ada dari institusi kepolisian mereka datang satu dumtruck yang disinyalir mereka itu anggota dari Polres di Ruteng bukan dari Polres di Labuan Bajo, dan hadir juga Niko Naput yang mengaku sebagai pemilik tanah,” beber Suwandi
Ia menyaksikan langsung proses tersebut yang dimulai pukul 08.00 pagi dan melibatkan berbagai pihak, termasuk pejabat setempat dan anggota kepolisian. Pengukuran tersebut sempat dihentikan ketika mencapai lokasi milik ahli waris Ibrahim Hanta, karena Suwandi mempertanyakan legalitas dan batas tanah yang diukur.
“Mereka mulai pengukuran jam 8 pagi, titik star pengukuran mulai dari atas tepatnya di atas yang sekarang sudah berdiri container, yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari rumah-rumah yang ada di bukit Keranga itu. Lalu mereka ukur kebawah sampai ke arah laut. Sekitar jam 11 saat itu, mereka langsung menuju lokasi milik ayah saya untuk melakukan pengukuran, disitu sudah saya langsung cegat mereka karena saya itu lahan milik orang tua saya. Saat itu saya panggil dan tanya ke salah satu pegawai dari BPN, jawab mereka saat itu bahwa mereka disuruh oleh Bapak Nikolaus Naput, Camat, Lurah, dan Haji Ramang, saya bilang saat itu “panggil mereka itu datang kesini menghadap saya, namun yang berani muncul menemui saya saat itu hanya Abdul Lipur, Lurah Labuan Bajo. Ketika itu, saya mengatakan bahwa pa Lurah hadir disini untuk menyaksikan pengukuran itu betul, namun lokasinya bukan disini, stelah diskusi panjang akhirnya saya suruh pulang. Tidak selang lama muncul lagi anggota kepolisian namanya Ibrahim yabg masih aktif sampai sekarang namun hal yang sama juga saya sampaikan bahwa kalau memang ini milik Niko Naput ya suruh dia dengan rombongan datang menemui saya disini. Namun permintaan tersebut tidak diindahkan. Setelah itu saya lihat rombongan ini kembali ke tempat Niko Naput dan langsung bubar,” jelas Suwandi
Dengan kekisruhan ini, pihak ahli waris Ibrahim Hanta, meminta masyarakat fungsionaris adat Nggorang mendesak Haji Ramang dengan Syair untuk segera mengklarifikasi dan menunjukan lokasi dan batas-batas tanah seluas 40 hektar dan 27 hektar yang dimaksud sehingga tidak terjadinya tumpang tindih.
Berkaitan dengan terbitnya sertifikat atas nama ahli waris keluarga Niko Naput pihak Suwandi Ibhramin menduga bahwa terjadi kolaborasi antara Niko Naput, Haji Ramang dan BPN.
“BPN tetap proses permohonan penerbitan. SHM Niko Naput, padahal surat perolehan tanah sebagai alas haknya sudah dibatalkan. Berikutnya tidak ada itikad baik antara Niko Naput dan Haji Ramang karena mereka tidak memberitahukan kpada BPN bahwa surat perolehannya sudah dibatalkan dan pihak BPN Tetap melakukan pengukuran dan memproses haknya Niko Naput. Kemudian BPN pada saat pengukuran itu tahu bahwa lokasi tanahnya yang dimohon oleh Niko Naput bukan di tempat lokasi tanahya Ibrahim Hanta, karena tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat perolehan yang telah dibatalkan namun BPN tetap melaksanakan proses tersebut. Selanjutnya kami menduga pihak BPN secara sengaja melakukan proses penerbitan sertifikat atas nama keluarga Niko Naput dan ini dikatakan cacat administrasi, disinilah ada indikasi dugaan Gratifikasi oleh oknum BPN. Dan kami juga menduga pihak BPN kurang meneliti terjadinya jual beli antara Niko Naput dan Santoso Kadiman seluas 40 Ha. Karena luasnya melebihi batas maksimun diatas 40 Ha dan ini menyalahi ketentuan yang berlaku,” tutup Suwandi
Hal senada juga disampaikan oleh Feri Adu bahwa merujuk kesaksian fakta persidangan yang disampaikan oleh saksi yang diajukan oleh pihak Niko Naput mempertegas kehadiran Haji Ramang dalam kapasitas sebagai Fungsionaris Adat yang mana ia hadir untuk mengukur lahan yang jelas-jelas itu bukan milik Niko Naput. Kepemilikan Niko Naput juga sudah dibatalkan pada tahun 1998.
“Ini adalah sebuah pengingkaran, pertama adalah terhadap adat-istiadat, dimana tanah tersebut merupakan tanah yang diminta oleh Gaspar Ehok untuk pembangunan sekolah perikanan, kedua yaitu pengingkaran terhadap fakta persidangan Tipikor di Kupang yang menyatakan bahwa Ramang dan Haji Djudje membenarkan adanya surat pembatalan tahun 1998. Sehingga apa yang dilakukan oleh Haji Ramang dan apa yang diklaim oleh Niko Naput itu bisa gugur dengan sendirinya. Jadi tindakan Haji Ramang dalam kapasitas sebagai pribadi maupun lembaga fungsionaris adat yang dia klaim itu sebuah kejahatan sehingga berpotensi akan dipidanakan, ” tegas Feri
Sementara itu, dalam persidangan kemarin, kuasa hukum penggugat meminta Majelis Hakim untuk meminta Badan Pertanahan Nasioanal (BPN) kabupaten Manggarai Barat untuk membawa alas hak atau warkah asli atas tanah Niko Naput ke persidangan selanjutnya yang digelar pada Rabu pekan depan. (Okebajo)