IDUL ADHA POST PANDEMIC 19: PENINGKATAN IMUNITAS IMAN DAN MODERASI SOSIAL

Prosiar – Dalam suasana hari Raya Idul Adha, 10 Zulhijjah 1443H/10 Juli 2022, Panitia pelaksana Hari Raya Idul Adha Masjid Fatahullah UIN Syarif Hidayatullah sebagaimana halnya dewan kemakmuran masjid lain super sibuk mensukseskan pelaksanaan sholat Idul Adha, dan penyembelihan hewan kurban mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasi potensi, pelaksanaan sholat dan pengindetifikasian kelompok yang berhak menerima daging kurba, penyembelihan hewan kurban, pendistribusian daging kurban hingga evaluasi dan pembubaran panitia.

Sholat Idul Adha 10 Zulhijjah 1443H bertepatan 10 Juli 2022M diselenggarakan panitia Dewan Kemakmuran masjid Fatahullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di lapangan Student Centre Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang bertindak sebagai Imam adalah Ustadz Raghib Muhammad Sakho, Qori Nasional, sedangkan bertindak sebagai khatib adalah Prof. Dr. Muhammad Said, MA, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga Alumni Program Pendidikan Singkat (PPSA) 23 Tahun 2021 Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) RI.

Adapaun jama’ah yang mengikuti sholat Idul Adha tidak saja kalangan pejabat mulai dari tingkat rektorat, dekanat, dosoen hingga office boy, tetapi juga masyarakat luas dari berbagai lingkungan yang berbeda.

Tampak Masyarakat antusias melaksanakan sholat idul adha setelah sedikit terbebas dari sandreaan Covid 19 selama lebih 2 tahun. Demikian antusiasnya hingga masyarakat membludak memenuhi lapangan, halaman gedung, dan sepanjang jalang dalam lingkungan kampus.

Menurut estimasi panitia, masyarakat yang hadir dalam sholat Ied Adha pertama pasca longgarnya pembatasan social berskala besar melebihi seribu jama’ah, suatu jumlah yang fantastis. Pada Momen itu, Prof. Dr. Muhammad Said, MA selaku khatib menguraikan tema “Idul Adha: Instrumen Peningkatan Kualitas Iman dan Modal Sosial Mewujudkan Moderasi Masyarakat Plural”.

Ia mengungkapkan bahwa hari ini umat Islam di seluruh penjuru dunia selain dianjurkan mengumandangkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil juga banyak beribadat kepada Allah SWT. Karena, hari raya ini berarti hari bersuka cita mukmin karena beribadat kepada Allah seperti haji dan umrah, sembahyang hari raya dan berkurban, dan segala taubat orang-orang yang menyesali segala kemaksiatan yang telah diperbuatnya diterima.

Pada hari raya ini nyatalah keselarasan dan kemuliaan atas mereka yang melaksanakan ibadah haji dan umrah karena memenuhi undangan Allah dan RasulNya. Mereka berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru yang jauh (fajjin amiq). Mereka tawaf, mengintip mengililingi ka’bah melawan arah jarum jam (counter clock) memusatkan pandangan mata bathin mereka kepada Tuhan yang Esa (syuhudul kasrah ilal wahdah) dan melaksanakan sya’i antara safa dan marwah mendapat kemenangan karena menyempurnakan hajinya.

Di tempat nan jauh di mata, namun mantap di hati, di negeri yang aman itu, BAITULLAH, para duyufullah menggemakan kalimat talbiyah: Kupenuhi panggilan-Mu ya Allah, kupenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagimu, sesungguhnya puja, limpahan karunia dan kekuasaan hanya pada-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu, secara serentak dan beramai-ramai hingga meresap ke alam rasa setiap mukmin yang melantunkannya, menikmati dan menghayati, rasa yang sulit dilukis dengan kata namun sungguh indah dirasakan.

Sebagaimana lazimnya pemahaman publik, bahwa hari Raya Idul Adha atau hari Raya Kurban mengingatkan kita pada tapak tilas sejarah monumental ketulus-ikhlasan, dedikasi dan loyalitas Nabiyullah Ibrahim a.s. putra tunggalnya, Ismail dan Siti Hajar ketika mereka diuji dengan perintah kepada sang Ayah untuk menyembelih putra semata wayang yang sangat didamaba, disayangi, dan dicintainya, yaitu Ismail as.

Ketulus-ikhlasan, dedikasi dan loyalitas Nabi Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar menjalankan perintah Allah diperhadapkan pada berbagai tantangan, godaan dan rayuan, serta bisikan yang meragu kedalam dada mereka sangat kuat meskipun sama sekali tidak menyurutkan keyakinan mereka mendarma-baktikan cinta, sebagai buah iman dan takwa kepada Allah.

Sungguh, pengorbanan mereka tiada bandingannya dalam sejarah peradaban umat manusia, termasuk di era revolusi teknologi 4.0 dan 5.0 society sekalipun.

Pada ketika Ibrahim hendak meng-eksekusi perintah Allah, syetan menghalangnya dengan berkata “Hai kekasih Tuhan yang rahman, alangkah sampai hatimu hanya karena mimpi yang sama-samar itu engkau tega menyembelih buah hatimu”, Ibrahim mengenal suara itu dan menjawab, enyahlah engkau daripada aku wahai syetan manusia.

Ia pun melempar syetan itu dengan batu kecil sehingga syetan gagal dan menghampiri ibu Siti Hajar sembari berkata “Ibrahim hendak menyembelih anak engkau Ismail hanya karena mimpi samarnya. Hijr pun berkata “jika yang demikian itu adalah perintah dari Tuhannya, wajib atasnya melaksanakan perintah itu”.

Ia melempar setan itu dengan batu kecil pula. Kegagalanpun masih dialami syetan hingga ia menghampiri Ismail sambil berkata “hai Ismal, Bapak engkau hendak menyembelihmu, dan aku ingin menasehati engkau”.

Ismail pun dengan penuh keyakinan mengatakan “Jika perintah yang demikian itu dari Allah untuk menyembelihku, maka adakah bapakku dapat berpaling dari perintah Tuhan yang maha rahman itu”.

Ismail pun melontar setan itu dengan batu kecil.
Ketangguhan iman dan ketinggian takwa keluarga Ibrahim AS dalam menghadapi tantangan dan godaan syetan menjadi usul disyariatkan melontar tiga jumrah (jumratul ‘ula, jumratul tsanyi dan jumratul akabah) sebagai bagian dari ritual ibadah haji yang dilakukan puluhan jutaan bahkan ratus juta mukmin yang datang dari berbagai penjuru yang jauh.

Perintah menyembelih hewan ternak (domba, kambing, kerbau, sapi atau unta) merupakan tamsil (kiasan) bahwa terdapat sifat kebinatangan yang bercokol di dalam dada, berupa gumpalan darah hitam beku (‘alaqah) sehingga dengan mudah syetan membisikkan keraguan ke dalam dada manusia.
Pengorbanan dalam kisah nabi Ibrahim, Siti Hajar dan dan Ismail as pada hakekatnya mengajari kita untuk terus berjuang melawan musuh yang nyata dalam diri kita sebangsa, hawa, nafsu, dunia dan syetan (HNDS).

Hawa timbul oleh karena anasir angin telah memenuhi segala rongga pada kita. Anasir angin memiliki kekuatan (power) penggerak, the soul dengan karakter pantang kelintasan.

Kekuatan anasir angin mendorong munculnya sifat iri, dan dengki pada orang lain yang lebih hebat dari kita. Iri dan dengki sebagai dua maksiat batin itu terus mendorong agresi berupa menghasut dan menfitnah orang yang lebih hebat dari kita. Perilaku ini menjadi pangkal kekacauan dalam diri kita, tata kehidupan sosial melahirkan konflik, disharmonis, dan kekacauan (chaos) di tengah masyarakat majemuk.

Nafsu timbul karena anasir air telah menjadi urat, benak dan tulang pada kita. Air memiliki kekuatan penggerak (al quwat al mutaharrikat) sehingga apabila kekuatan ini mendominasi, maka sifat pantang kerendahan berdampak pada hilangnya sikap saling menghormati, dan saling menghargai antara satu dengan lain diganti ego diri, ketakjuban terhadap kekuatan dan kehebatan diri sendiri, dan menganggap remeh orang lain, keangkuhan dan kesombongan.

Sikap seperti ini tentu tidak saja tidak terpuji bagi diri sendiri, tetapi juga menjadi sumber malapetaka kehancuran dalam kehidupan kolektif (social/public).

Dunia timbul karena anasir tanah telah menjadi daging, kulit, bulu dan roma pada kita. Tanah didrive oleh kekuatan yang di dalamya mengandung sifat pantang kekurangan, yang mendorong kita memiliki keinginan yang tidak terbatas (unlimited wants). Andai manusia diberi dua lembah berisi emas, mereka akan mencari yang ketiga, keempat dan seterusnya, namun semua itu tidak cukup kecuali manusia mati berkalang tanah, kata Nabi.

Mengapa timbul syetan? Oleh karena anasir api telah menjadi darah pada kita sehingga selama darah itu kita mengalir dalam tubuh manusia, maka selamat itu pula syetan tidak berhenti menggoda manusia.
Sifat dari kekuatan api adalah pantang kalah yang mendorong manusia menjadi sangat sensitif, emosional, penuh nafsu amarah, dan nafs al lawamah.

Anasir-anasir ini membentuk kekuatan negatif yang kemudian berwujud pada kemaksiatan batin yang dikategori ke dalam perbuatan keji dan mungkar (al fahsya’i wal munkar). Perbuatan keji (al fahhsya’i) meliputi lima sifat, yaitu: (1) ajib (kekaguman pada kehebatan diri sendiri); (2) riya (selalu pamer dan pamrih dalam berbuat kebajikan); (3) takabur (selalu merasa besar dan ingin terus dibesarkan); (4) iri (sifat tidak senang terhadap keberhasilan orang lain); (5) dengki. Lima penyakit ini bercokol didalam hati.

Sedangkan al mungkar mewujud dalam sikap dan laku perbuatan manusia, yairu: (6) hasut; (7) fitnah; (8) tamak; (9), loba, dan; (10) sombong. Sepuluh maksiat bathin ini adalah menjadi pagkal munculnya sifat-sifat kebinatangan yang secara hakekat harus disembelih dan dimatikan sebelum kita mati agar kita benar-benar mendapat keselamatan (wa la tamutunna illa wa antum muslimun) (QS. 3:102).

Iman itu hakekatnya adalah cahaya, nama lainnya adalah kitab (catatan tersimpan dalam hati), tidak akan pernah bisa didustai walau mulut kita mendustakannya. Nama lain lagi dari iman itu adalah nur (cahaya) dan ruh sebagaimana keterangan QS Asy Syuara (42):52. Iman/kitab/ruh/Nur. Itu adalah kebenaran dari Allah yang wajib kita percaya sebelum kita percaya kepada yang punya kepercayaan.

Iman sebagai kekuatan instrinsik yang datang dari sisi Allah itulah kelak yang kembali kepadaNya (Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun), yang harus diselamatkan dari sifat kebinatangan agar dia pada akhirbya kembali (jumadil akhir) ke tempat mula dia datang (jumadil awwal).

Perintah dalam Qur’an surat al Kautsar “inna a’tainakal kaustar, fashalli li rabbik wan har”.

Sesungguhnya, kami telah memberi kepadamu kautsar, maka dirikanlah sholat dan berkurbanlah. Kaustsar itu telaga yang diberikan kepada Muhammad dan umatnya, tempat yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, tempa dimana segala penyakit hati (al fahsya’i wal munkar) dicabut oleh Tuhan (QS. 7:43) dengan mendirikan sholat untuk mengingat Tuhan (QS. 20:14) dan mencegah perbuatan keji dan mungkar (sifat kebinatangan) dengan syarat mengikuti Rasul (rahmat, QS. 21:107) agar mukmin mendapat rahmat yaitu dikeluarkan dari kegelapan kepada yang terang benderang (QS. Al ahzab (33):43), dan dijauhkan dari azab, serta mendapat kemenangan yang nyata (QS. Al An’am (6):16).

Kurban yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail a.s mengajarkan kepada orang-orang yang berkemampuan dan berkecukupan untuk mengorbankan hewan.

Sedangkan bagi yang tidak berkecukupan, tetapi memiliki sifat, sikap, dan perbuatan melanggar perintah Allah, dituntut untuk mengorbankan sifat-sifat itu dan meninggalkannya serta segera kembali kepada ampunan Allah, syurga yang dijanjikan seluas langit dan bumi yang disiapkan bagi mereka yang bertakwa, yaitu mereka menafkahkan sebagian dari hartanya secara sembunyi dan terang-terangan, mampu meredan sifat kebinatangan (amarah), dan memaafkan kesalahan orang lain serta menyesali kejahatan di masa lalu dengan penuh komitmen tidak mengulanginya lagi.

Berkurban merupakan jihad social dilakukan dengan niat karena Allah adalah instrument mewujudkan kepedulian terhadap diri sendiri dan kepada mereka yang hidup secara ekonomi kurang beruntung sehingga tercipta moderasi kehidupan social. Secara ekonomi, kurban mengandung nilai investasi jangka panjang (akhirat) dengan menyisihkan harta kita untuk orang lain.

Jihad jenis ini memiliki dampak yang besar bagi orang yang beriman, tidak saja terhindar dari bala dan musibah, dijauhkan dari penyakit, terbuka pintu rahmat atas mereka karena do’a orang fakir dan miskin yang tidak berkecukupan. Sedangkan secara spiritual, kurban mengandung arti naik martabat, mengeluarkan diri (hijrah transformatif) dari sifat-sifat kebinatangan, hawa, nafsu dunia dan setan menuju diri sejati dengan sifat sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathonah (SATF). Kurban mengajarkan kita untuk tidak anarkis, membunuh jiwa-jiwa yang tidak bersalah atas nama dan demi membela agama Allah sekalipun, karena pada hakekatnya membunuh satu jiwa sama dengan membunuh seluruh jiwa manusia.

Manusia itu adalah umat yang satu, diciptakan Tuhan yang Esa dari anasir yang sama, serta dipancarkan rasa yang sama pada saat bersamaan ditiupkan ruh ke dalam dada laki-laki dan perempuan, walaupun ruh yang ada dalam dada laki-laki dan perempuan itu tidak laki dan tidak pula perempuan. Rasa atau nikmat yang sama dianugerahkan Tuhan kepada seluruh manusia tanpa mengenal perbedaan kasta, suku, bangsa, dan agama itu adalah inidkator keadilan ilahi.

Karena itu, berkurban mengandung arti berjuang membela diri dari musuh yang paling nyata untuk dilawan yaitu sebagnsa hawa, nafsu, dunia dan setan sebagai kekuatan destruktif yang menyebabkan kerusakan di muka bumi (QS.7:56), yang merintangi kita sampai pada kebajikan di dunia dan dikahirat.

Melalui moment idul adha 10 Zulhijjah 1443H/1o Juli 2022M ini, mari kita menjadikan kurban sebagai modal sosial untuk memupuk dan meningkatkan persatuan dan kesatuan, kedisiplinan, loyalitas, dedikasi sebagai hamba Allah dan sebagai warga negara yang baik. Kita jadikan idul kurban sebagai strating point transformasi sifat kebinatangan menuju sifat Siddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah yang mampu mendrive kita pada kesadaran pentingnya social capital (modal sosial) dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia.

Kita jadikan idul kurban sebagai instrumen mewujudkan kehidupan yang harmonis di tengah ancaman stabilitas sosial yang tinggi, harmonisasi sosial yang semakin meredup, kekeluargaan dan persaudaraan yang semakin menipis, ujaran kebencian (hate speech) atas nama agama semakin mengental dan intoleransi yang semakin marak, serta sepatratisme yang terus mengancam.

Semoga dengan semangat kurban membawa pengaruh bagi peningkatan iman, dan energy positif untuk membangun moderasi sosial yang damai di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk secara kultural dan agama. Sehingga, Indonesia menjadi bangsa besar, yang memiliki kemampuan ideal dalam membendung ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan internal (diri, dan masyarakat Indonesia) dan tantangan eksternal akibat perkembangan geo-stragi dan geo politik global, dan regional, terutama desrupsi akibat perkembangan teknologi dengan sejumlah potensi destruktif terjadi secara massif dan terstruktur. Semoga!