Prosiar, TEGAL – Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (Fraksi PKS MPR RI), Abdul FIkri Faqih menyatakan, wacana jabatan Presiden RI menjadi tiga periode ternyata mendapat penolakan yang luas dari masyarakat. “Meski isu ini sudah lewat dan diklarifikasi oleh istana, ada asumsi umum yang dapat kita ambil, bahwa mayoritas bangsa ini masih menginginkan konstitusi dijalankan sesuai mandat awal,” ujarnya saat mengisi Sosialisasi Daerah Pemilihan (Sosdapil) Anggota MPR RI, di Tegal Senin (9/5/2022) lalu.
Sesuai Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen pertama, menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (atau maksimal dua periode).
Menurut Fikri, meruaknya isu masa jabatan Presiden tiga periode telah mengisi diskursus politik yang cukup fundamental, karena menyangkut perubahan aturan di dalam konstitusi kita. “Perubahan konstitusi menuntut adanya amandemen UUD 1945, dan harus melalui mekanisme proses formal di MPR RI,” ujarnya.
Sementara hasil jajak pendapat dari lembaga survey nasional, sekedar contoh, Survei Saeful Mujani Research & Consulting (SMRC). Dengan survei bertema “Sikap Publik Nasional Terhadap Amandemen Presidensialisme Dan DPD” pada 21-28 Mei 2021 dengan 1220 responden. Hasil survei menunjukkan bahwa 13% responden setuju ketentuan masa jabatan harus diubah; 74% responden menilai harus dipertahankan dua kali. Sedangkan, terkait tiga periode Presiden Joko Widodo, sebanyak 42,6% responden menyatakan tidak setuju; 10,3% menyatakan sangat tidak setuju; dan 40,2% warga yang setuju dan sangat setuju.
Menurut Fikri, hasil survei opini publik, selain dapat dijadikan sebagai bahan untuk menerbitkan kebijakan, juga dapat membantu MPR dalam membaca situasi di tengah masyarakat terkait isu yang menyinggung amandemen konstitusi. “Memang bukan sebagai instrument politik, namun barometer keputusan politik selalu menyesuaikan arah keinginan publik, dan inilah demokrasi,” urainya.
Selain itu, hasil survei SMRC juga menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap Presidensialisme sangat kuat. Mayoritas responden setuju terhadap Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat (84.3%), bukan oleh MPR. Sementara hanya sebanyak 8.4% warga yang setuju/sangat setuju agar Presiden dipilih oleh MPR.
“Survei tersebut mengindikasikan, bahwa masyarakat masih menginginkan pemilihan Presiden secara langsung, bukan melalui perwakilan di MPR,” kata Fikri.
Hasil tersebut menunjukan sikap yang konsisten di masyarakat, bahwa bila masa jabatan presiden diperpanjang pada 2024-2029, maka sama saja dengan melegitimasi Pilpres yang diselenggarakan di parlemen (DPR/MPR) melalui aksi amandemen UUD.
“Kesimpulannya masyarakat tidak menginginkan adanya perubahan substansi masa jabatan Presiden dalam konstitusi,” tegas Fikri.
Hal itu berarti rakyat masih kuat mengandalkan sistem Presidensial yang berlaku, yakni basis legistimasi presiden berasal dari rakyat melalui pemilihan langsung. Kedua, di samping masa jabatannya yang tetap, Presiden tidak mudah untuk dijatuhkan oleh parlemen. Demikian halnya, institusi parlemen juga bersifat tetap dan tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. (*)