Jatimaktual, Jakarta – Kasus dugaan penyiksaan oleh empat orang Penyidik Polsek Lubuklinggau dalam kasus kematian Hermanto tahanan Polsek Lubuklinggau awalnya ditepis oleh Kabid Humas Polda Sumatera Selatan, Kombes Pol Supriadi. Ia menyatakan bahwa lebam yang ditemukan di tubuh korban adalah lebam mayat dan bukan lebam bekas kekerasan. Demikian rilis The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pada Rabu (16/3/2022) lalu.
Peneliti ICJR Genoveva Alicia mengatakan tindakan penyiksaan yang menyebabkan kematian menjadi fenomena yang selalu berakhir ditangani secara parsial, tanpa adanya usaha untuk mengakhiri akar penyebab masalah ini.
“September 2020, kematian menimpa Joko Dodi Kurniawan dan Rudi Efendi, tersangka kasus perampokan yang ditahan di Polsek Sunggal. Jenazah Joko kemudian diautopsi atas permintaan keluarga yang melaporkan dugaan penyiksaan. Desember 2020, kematian Herman diberitakan terjadi pada saat dirinya ditahan di Polres Balikpapan. Enam orang polisi dijadikan tersangka di dalam kasus ini,” ungkapnya.
“Januari 2021, Deki Susanto diberitakan disiksa dan ditembak ketika ditahan di kepolisian oleh seorang Bripka yang kemudian dijadikan tersangka dalam kasus kematiannya,” lanjutnya.
Dari studi LBH Masyarakat pada 2021, menemukan bahwa dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan di Jakarta terdapat 22 orang mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian. Sementara Komnas HAM sepanjang 2020-2021 menangani setidaknya 11 kasus kematian tahanan kepolisian, yang meninggal kurang dari 24 jam pasca penangkapan,” katanya.
Penahanan sendiri sejatinya merupakan upaya paksa yang diperbolehkan untuk dilakukan oleh Penyidik berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Namun, bukan berarti penahanan harus diutamakan, justru penahanan seharusnya bentuk pengecualian, dilakukan hanya apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.
“Sayangnya penahanan di Indonesia dilakukan oleh aparat utamanya kepolisian begitu mudah, tidak ada kewajiban menghadirkan tersangka ke depan hakim, keputusan menahan/ tidak menahan pasca penangkapan murni penilaian polisi. Seringkali masa penahanan dihabiskan, padahal pemeriksaan juga tidak dilakukan. Bahkan dalam surat perintah penahanan tidak ada kewajiban menguraikan alasan penahanan secara substansial,” ungkapnya.
Ia mengatakan sekalipun penahanan harus dilakukan, sebenarnya tersedia bentuk penahanan selain di dalam lembaga, misalnya dalam Pasal 22 KUHAP, tersedia 3 (tiga) jenis penahanan yang dapat dilakukan: penahanan di Rumah Tahanan (Rutan), Penahanan Kota, dan Penahanan Rumah.
“Yang di dalam lembaga adalah penahanan Rutan. Harusnya dilakukan di Rutan. Penjelasan Pasal 22 ayat (1) KUHAP dan Pasal 18 PP No. 27 tahun 1983 menyebutkan adanya penahanan di kantor kepolisian hanya diperbolehkan dilakukan apabila di daerah tersebut belum terdapat Rumah Tahanan Negara. Artinya penahanan kepolisian bersifat sementara dan bukan suatu hal yang biasa,” urainya.
Selama ini, ruang-ruang penahanan yang ada di Kantor Kepolisian dan juga Kantor Kejaksaan serta Pengadilan seharusnya diadakan untuk menahan sementara diperuntukkan hanya sebagai tempat transit dan bukan sebagai tempat penahanan yang permanen.
“Penahanan dalam jangka waktu lebih dari 24 jam oleh kepolisian tidak dapat dibenarkan karena sesuai dengan standar hak atas fair trial dan hak atas kemerdekaan dan keamanan seseorang, untuk kepentingan penegakan hukum, otoritas yang melakukan penahanan harus dipisahkan dengan otoritas yang melakukan perawatan tahanan,” ungkapnya.
Hal ini harus dijamin, agar adanya pengawasan, sehingga tahanan tidak serta menjadi “kuasa” aparat penegak hukum. Jaminan ini harus ada dalam KUHAP untuk menghindari adanya praktik-praktik penyiksaan dan pemeriksaan di waktu-waktu yang tidak wajar, sebagaimana terjadi di dalam kasus-kasus penyiksaan yang ada saat ini.
“Ketika penahanan dilakukan di Kantor Kepolisian, kontrol penuh terhadap tersangka ada di tangan penyidik dengan kepentingan penegakan hukum, memperoleh bukti untuk memperkuat perkaranya. Dalam kondisi seperti itu, tidak dapat dipungkiri kekerasan mulai yang dilakukan secara verbal dalam bentuk intimidasi hingga fisik, sangat rentan terjadi,” jelasnya.
“Penahanan di kantor kepolisian harus dilarang karena membuka peluang besar dilakukannya pemeriksaan incommunicado, atau tanpa komunikasi dengan dunia luar. Situasi-situasi ini, tentunya sangat rentan menjadi ruang penyiksaan untuk mendapatkan informasi dan pengakuan dari tersangka,” lanjutnya.
Kepolisian punya tugas begitu besar menjadi keamanan dan ketertiban di masyarakat. Maka, tugasnya tak perlu ditambah lagi dengan perawatan tahanan.
“Semua pihak mulai dari pemerintah, DPR, Komnas HAM, lembaga-lembaga dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) harus menyerukan penghentian penahanan di kantor-kantor kepolisian. Hal ini dapat dimulai dengan seruan Revisi KUHAP yang sudah jauh tertinggal jaman,” pungkasnya. (red)
Editor: Gus Din