Prosiar, Jakarta – Polres Metro Jakarta Utara, Rabu (8/5/2024) telah menetapkan empat tersangka kasus kekerasan kepada taruna tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Dimana korban bernama Putu Satria Ananta (19) disiksa di kampus STIP yang berujung meninggal dunia.
Kejadian ini terjadi saat kakak kelas taruna tingkat dua STIP, Jumat (3/5/2024) melakukan budaya bullying dan penyiksaan yang berujung pada maut. Sebuah kejadian tragis yang terus terulang di berbagai sekolah seperti STPDN, Akmil, Akpol, STIP dan lainnya di Indonesia.
M. Rafik Perkasa Alamsyah Politisi Muda yang juga Kordinator Kaukus Muda Golkar (KMG), Minggu (19/5/2025) merespon atas kejadian ini. Dimana ia menilai kasus yang sudah memeriksa 43 saksi, terdiri dari 36 taruna, pengasuh STIP, dokter klinik, dokter RS Tarumanegara Bekasi, ahli pidana dan bahasa ini perlu diusut tuntas.
“Polisi harus mengusut tuntas sampai ke akar masalahnya, bukan hanya kepada para pelaku (red-taruna senior) tapi juga kepada pihak sekolah harus bertanggung jawab. Tapi bukan sekedar penyelesaian pidana, akan tetapi harus ada perombakan sistem dan budaya bullying yang dibiarkan oleh pihak sekolah,” kata Rafik dengan nada geram, saat diwawancarai wartawan senior Syafrudin Budiman SIP.
Menurut Ketua Umum DPP Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia (IPPMI) ini, berapa banyak anak bangsa, calon ahli pelayaran yang akan memajukan bangsa kita dirugikan.
“Kita semua berduka dan menyayangkan kasus pemukulan tersebut terulang terus-menerus dari tahun ke tahun. Jadi moratorium kebijakan dari Menteri Perhubungan selama ini tidak strategis. Dimana kedepannya pendidikan para siswa harus berbasis karya, skill dan keilmuan,” terangnya.
Kedepan menurut Rafik, jangan sampai siswa-siswa dan taruna-taruna lain nantinya jadi korban berikutnya. Perlu ada perombakan pendidikan di sekolah-sekolah keahlian yang sudah salah arah.
“Kejadian ini, sangat tidak sesuai dengan Visi Nawacita Presiden Jokowi perihal penciptaan lapangan kerja, pembukaan akses pendidikan seluas-luasnya untuk penuntasan kemiskinan,” ucapnya.
Rafik menambahkan, kasus pemukulan yang mengakibatkan korban di STIP adalah kesalahan kebijakan Menteri Perhubungan. Dimana moratorium kebijakan Menhub, sebagai solusi yang kurang cerdas.
“Banyak kasus pemukulan di lain sekolah kedinasan saat penerimaan taruna baru. Contoh di Akmil, Akpol, STPDN bahkan kampus di lingkungan menwa, sehingga kekerasan terus terjadi,” tandasnya.
Terakhir kata Rafik, hal ini juga akibat kelemahan Menteri Perhubungan tidak melibatkan alumni dalam mengambil keputusan. Kasus kekerasan taruna, hanya bisa diselesaikan oleh para alumni dengan turun tangan merubah tradisi (aturan yang tidak tertulis) yang sudah turun temurun berlaku.
“Jadi untuk menyelesaikan persoalan ini semua para alumni sekolah kedinasan diundang dan dilibatkan terlibat dalam pelaksanaan kurikulum di sekolah. Para senior dan alumni bisa memberikan arahan dan masukan yang positif agar tidak terjadi kekerasan yang berujung maut,” pungkas Rafik. (red)
Penulis: Syafrudin Budiman SIP