Putusan PT Kupang, Penegasan Tanah 16 ha Surat 10 Maret 1990 Niko Naput di Kerangan Resmi Batal Sejak 1998

Prosiar.com, Labuhan Bajo – Perjalanan panjang perjuangan petani pemilik tanah para ahli waris 11 hektar tanah di Kerangan, Labuan Bajo, yang sudah menang di PN Labuan Bajo 23/10/2024, akhirnya mendapat kepastian hukum lagi dari putusan banding Pengadilan Tinggi Kupang 18 Maret 2025.

Tim kuasa hukum ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, yang diketuai Dr (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., Kamis (20/3/2025) mengkonfirmasi bahwa, mereka telah menerima putusan banding secara online melalui e-court.

Menurut Indra, amar putusan ini sangat jelas menunjukkan bahwa kliennya kembali menang.
Putusan itu diberitahukan kepada masing-masing Penasihat Hukum atas perkara yang diregister di Pengadilan Tinggi 6 Januari 2025, putusan banding No.1/PDT/2025/PT KPG, tanggal putusan banding 18 Maret 2025, dengan amar putusan banding, mengadili :

1. Menerima permohonan banding dari Pembanding atau semula Tergugat III, Pembanding II dan Pembanding III, semula Tergugat I dan Tergugat II.
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negri Labuan Bajo Nomor 1/Pdt.G/2024/PN Lbj tanggal 23 Oktober 2024, yang dimohonkan banding.
3. Menghukum Pembanding / semula Tergugat III, Pembanding II dan Pembanding III, semula Tergugat I dan Tergugat II, Terbanding II semula Tergugat IV, Turut Terbanding I semula Turut Tergugat I, dan Turut Terbanding II semula Tergugat II, untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp.150.000,- (seratus limapuluh ribu rupiah).

Hak Atas Tanah Semakin Kuat

Indra menegaskan bahwa kemenangan ini meneguhkan hak kepemilikan kliennya atas tanah yang dipersengketakan.

“Dari sini sudah jelas, pada tingkat Pengadilan Negeri Labuan Bajo kami menang, dan sekarang di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Kupang kami juga menang. Artinya, hak kepemilikan klien kami semakin kuat secara hukum,” katanya.

Sebagai dosen hukum perdata di Universitas Teknologi Indonesia di Bali, Indra juga mengapresiasi putusan ini sebagai bentuk transparansi hukum yang membela rakyat kecil.”Kami berterima kasih kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang yang telah memberikan pertimbangan hukum secara
transparan dan objektif,” imbuhnya.

Saat ini, kata Dia bahwa objek sengketa telah dipasangi plang dan spanduk oleh keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta sebagai penanda yang melarang pihak mana pun menguasai atau mengelola tanah tersebut secara sepihak.

“Kami mengimbau pihak lawan agar tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. Kepemilikan tanah ini sudah sangat jelas berdasarkan dua putusan pengadilan yang sah,” pungkas Indra.

Sementara itu Jon Kadis, SH, anggota tim Kuasa Hukum lainya menjelaskan bahwa putusan banding ini belum inkracht dan belum dapat dieksekusi, karena peraturan memberi peluang kepada Tergugat/Pembanding selama 14 (empat belas) hari kalender dihitung mulai sehari setelah pemberitahuan putusan banding.

“Hak Tergugat/pembanding untuk menggunakannya atau tidak. Jika Tergugat tidak menyatakan kasasi atas putusan tersebut, maka putusan itu sudah inkrahct”, jelas Jon Kadis, S.H., rekanan Indra di Labuan
Bajo.

Apakah masih ada celah atau argumen Tergugat untuk kasasi? Menurut Jon, alasan itu tentu Tergugat yang lebih tahu. Tapi sebagai Advokat yang melihat kasus ini secara obyektif, fakta-fakta yang ada, baik para saksi maupun dokumen, pihaknya melihat tidak ada lagi
argumen sebagai alasan untuk kasasi.

“Fakta bahwa penguasaan tanah 11 ha itu sudah mulai sejak 1973, dan dikukuhkan dengan surat keterangan pemilikan itu oleh kuasa Penata adat 2019 demi pemenuhan dokumen administrasi pengajuan pembuatan sertifikat tanah itu di BPN (Badan Pertanahan Nasional),”ungkap Jon.

“Fakta juga terungkap di persidangan di PN, pertama, dimana para saksi Tergugat sendiri, antara lain Emeltus Jemau, sopir pribadi Niko Naput dan John Bosco orang suruhan Hj Ramang Ishaka, menyebut tanda fisik dan batas tanah Niko Naput itu sama sekali tidak sama dengan ciri tanah 11 ha alm. Ibrahim
Hanta. Kedua, surat alas hak mereka 10 Maret 1990 tak ada aslinya, apalagi itu diperkuat oleh hasil investigasi Kejaksaan Agung RI, bahwa SHM-SHM atas nama anak Niko Naput dan Niko Naput sendiri, baik yang tumpang tindih di atas 11 ha tanah alm. Ibrahim Hanta maupun di luar batasnya, semuanya cacat yuridis
dan cacat administratif”, terang Jon.

Penegasan PT Kupang atas putusan PN dan Sidang Tambahan

Dalam pertimbangan hakim PT Kupang, kesaksian sidang tambahan 3 Februari 2025 justru tidak memberi hal baru, malah penegasan atas kelemahan surat alas hak 16 ha 10 Maret 1990.

Pertama, keterangan tambahan saksi ahli hukum adat Prof.Farida Patinggi dari UNHAS, bahwa tanah yang sudah diserahkan Fungsionaris Adat tak dapat dibatalkan. Tapi hakim PT kesampingkan karena tak ada riset saksi ahli tersebut atas surat-surat pembatalan, alias tidak dapat diterima.

Kedua, demikian pula keterangan saksi ahli baru, ahli tulisan tangan (tandatangan), yang dalam keterangannya menyebutkan bahwa terdapat perbedaan tandatangan-tandatangan Fungsionaris ulayat pada surat pembatalan (bahasa profannya ‘palsu’), juga tidak dapat diterima, karena saksi itu tidak memperlihatkan bukti berupa pernah adanya keputusan inkraht bahwa surat-surat itu palsu. Oleh karena itu hakim PT Kupang menganggapnya sebagai asumsi pribadi sang ahli.

Ketiga, fotocopy-fotocopy surat pembatalan yang diterima langsung oleh saksi Penggugat dari Hj Ishaka 1999-2000 (Wilhelmus Warung dan Yohanes Pasir) justru diterima oleh hakim, sehingga seluruh produk SHM atas nama pihak Niko Naput tidak sah.

Keempat, surat PH Penggugat dan terutama lampirannya berupa hasil pemeriksaan Kejaksaan Agung RI kepada Muhamad Rudini dan kepada Bupati Manggarai Barat, diterima sebagai pendapat Kejagung RI yang dapat dipertimbangkan.

Pendapat itu adalah: SHM-SHM anak-anak Niko Naput & Niko Naput sendiri, termasuk PPJB 40 ha dengan pihak lain, tidak sah, dipandang sebagai hasil penipuan. Hal-hal itu justru menguatkan putusan PN Labuan Bajo 23/10/2024, ahli waris Ibrahim Hanta “menang”, jelas Jon.

Dari pertimbangan hakim PT Kupang ini, dapat dipakai sebagai dasar hukum, bahwa surat-surat pembatalan atas surat alas hak Niko Naput 10 ha, pembatalan surat alas hak istrinya Beatrix Seran Nggebu 5 ha serta pembatalan 16 ha tanah surat alas hak 10 Maret 1990 itu, adalah bukan palsu, karena copy surat batal tersebut diterima langsung dari Haji Ishaka oleh para saksi dalam persidangan di PN.

Dengan demikian, maka tindakan seorang yang mengaku cucu Haji Haku Mustafa (wakil Fungsionaris ulayat) yang bernama Muhamad Syair, yang pernah membuat lapor pidana Penggugat dan keluarganya (Muhamad Rudini, Mikael Mensel dll) dengan alasan bahwa surat-surat pembatalan tersebut palsu, tidak dapat diakomodir untuk diproses lebih lanjut, oleh karena itu perlu dicabut.

Sebagaimana diketahui, pihak Rudini mengganggap upaya dadakan Muhamad Syair itu adalah upaya kriminalisasi pihak Tergugat
(kini Pembanding), lagian oknum polisi yang memproses laporan pidana itu sudah dilaporkan oleh pihak ahli waris IH ke Mabes Polri karena oknum polisi tidak profesional” beber Jon.

“Sehingga kuat dugaan saya, bahwa perkara ini selesai sampai di sini. Mau kasasi? Yah, rasa-rasanya tak ada lagi argumen Pembanding (pihak Niko Naput, Santoso Kadiman, PT. Mahanaim Group (Hotel St Regis), karena surat alas hak andalan mereka 10 Maret 1990 dipertegas oleh hakim PT Kupang sebagai surat yang “sudah dibatalkan”. Dan ini membuka peluang bagi klien kami untuk mendesak Polres di Labuan Bajo supaya memproses lebih lanjut Laporan pidana mereka Agustus 2024. Lapor pidana ini juga sesungguhnya atas pendapat Kejagung RI, agar Muhamad Rudini dapat melakukan upaya hukum secara pidana atas semua pelaku perbuatan melawan hukum terhadap tanah warisannya”, tutup Jon Kadis, putera turunan Tua Golo (Tua Adat) salah satu masyarakat adat & budaya Manggarai Barat, alumnus
Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, mantan bagian hukum (as a lawyer working in bank) Bank Central Asia & Bank Artha Graha Internasional Cabang Denpasar.

Selanjutnya Mikael Mensen, salah satu orangtua dari keluarga besar ahli waris IH, menegaskan bahwa upaya mempertahankan surat alas hak yang hanya berupa fotokopi adalah sia-sia.

“Kalaupun ada aslinya, tanah yang dimaksud dalam surat itu bukan tanah 11 hektare ini. Pada tahun 2018-2019, saat kami mengajukan SHM, mereka malah menghalangi kami dengan menggunakan surat alas hak IH yang sudah meninggal puluhan tahun, yang diterbitkan pada Maret 2019 oleh oknum BPN,” ucap Mikael.

“Itu jelas tidak berlaku. Sekarang mereka kembali mengandalkan surat 10 Maret 1990 yang juga tidak sah. Ini tanah leluhur kami. Hati-hati, karma akan menimpa siapa pun yang berusaha merebutnya secara tidak benar. Dan tanah ini sedang kami kuasai, dan darah hewan ritual korban kepada “Mori Jari Dedek
“( Tuhan Sang Pencipta, Red) sudah kami tumpahkan di sini, sebagai tanda kami pantang mundur”, tegas Mikael. (red)