Jakarta, ProSiar.com – Sekjen Setya Kita Pancasila (SKP) Meyske Yunita meminta Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Propinsi Maluku agar mencopot Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Ambon. Hal ini terkait adanya intervensi terhadap Pers dan Jurnalis yang tidak seharusnya dilakukan.
Dimana Kajari Ambon dinilai keliru menafsirkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam Kemerdekaan Pers pada Kasus Korupsi Politeknik Ambon.
Meyske Yunita melalui keterangan persnya, Sabtu (6/4/2024) di Jakarta mengatakan, Kajari Ambon Adhryansah, S.H.,M.H., telah salah menafsirkan Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Sehingga kata Meyske, Kajari terkesan melakukan intimidasi terhadap kebebasan pers.
“Di Pasal 10 KEJ hasil Kongres Nasional PWI Tahun 2024 sama sekali tidak ada redaksional mencabut berita. Penafsiran Pasal 10 ayat (1) KEJ a quo menyebutkan, Wartawan yang menyadari adanya kekeliruan dalam pemberitaan, tanpa diminta narasumber atau pihak lain wajib memperbaiki atau meralat dan tidak ada kata mencabut isi berita,” tandasnya.
Mengenai pemberitaan media online di website berita referensimaluku.id dan website malukuekspres.com di bawah usungan judul: Tersangkut Kasus Pancuri Kepeng, Tiga Pejabat Politeknik Ambon Disidang, Direktur Polnam Sengaja Dilepas Jadi “ATM Berjalan APH”, tukas Meyske.
Kata dia, website berita referensimaluku.id dan website malukuekspres.com telah melayani hak jawab dan koreksi sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan maksud Pasal 10 KEJ 2024.
“Hak jawab dan hak koreksi telah dimuat website referensimaluku.id dan website malukuekspres.com tanggal 4 April 2024 dengan judul: Kajari Ambon Kasih Hak Koreksi dan Hak Jawab Soal Pemberitaan Direktur Politeknik Ambon Sengaja Dilepas Jadi “ATM Berjalan” di Kasus Tipikor Polnam Tahun 2022 dan APH Tak Pernah Jadikan Direktur Polnam sebagai ATM Berjalan di Perkara Dugaan Tipikor Penggunaan DIPA Tahun 2022.
“Kami sudah Sesuai Prosedur. Lalu mau apa lagi. Kalau soal permintaan maaf dan cabut berita media massa tidak mungkin media massa melakukan hal tersebut. Sepanjang isi pemberitaan mengenai fakta persidangan dan bersifat dugaan. Sebab pers atau wartawan mengabdi untuk kepentingan publik, dengan kata lain mencabut isi berita adalah pelanggaran UU Pers,” paparnya.
Meyske juga menguraikan tentang desakan, ancaman dan intimidasi pencabutan berita website referensimaluku.id dan website malukuekspres.com oleh Kajari Ambon dalam suratnya bernomor: B-821/Q.1.10/Fs/04/2024 Tanggal 5 April 2024 dan Nomor: B-822/Q.1.10/Fs/04/2024 tanggal serupa adalah permintaan dan atau pemahaman yang keliru besar.
“Surat ini salah kaprah dan ini bentuk intimidasi dan pengekangan terhadap kemerdekaan pers di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tegas wanita kelahiran Ambon ini.
Meyske mengatakan, bahwa pencabutan berita amat sangat bertentangan dengan UU Pers in casu Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012 tentang Pedoman Media Siber angka 5. Dimana disebutkan bahwa berita yang dipublikasikan tidak dapat dicabut kecuali terkait beberapa hal seperti masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), norma kesusilaan dan masa depan anak-anak.
“Pertanyaannya berita-berita tersebut isinya tidak melanggar unsur SARA, norma kesusilaan dan masa depan anak-anak itu ada di redaksional yang mana. Intimidasi pencabutan berita adalah arogansi kekuasaan yang layak diskualifikasi sebagai bentuk pelanggaran UU Pers sebagaimana amanat Pasal 8 UU Pers tentang perlindungan terhadap wartawan di mana wartawan tidak dapat dipidana dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya,” jelasnya panjang lebar.
Apalagi kata dia, berita yang viral di ambon dikutip dari (referensimaluku.id dan malukuekspres.com) sama sekali tidak secara vulgar dan eksplisit menyebutkan nama institusi Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon. Namun lanjut Meyske, hanya ditulis Aparat Penegak Hukum (APH), tapi yang herannya Kajari Ambon terkesan reaktif di balik pemberitaan kedua media online tersebut.
Padahal yang harus responsif adalah Direktur Politeknik Negeri Ambon (Polnam). Frasa akronim APH di pemberitaan kedua media siber itu luas penjabarannya karena tak hanya meliputi institusi kejaksaan,tapi juga ada institusi kepolisian, kehakiman dan advokat.
“Ditenggarai seolah-olah “kepanasan” di balik pemberitaan tersebut. Ada apa di balik semua ini. Logikanya yang harus memberikan hak jawab dan hak koreksi penuh dalam pemberitaan tersebut adalah Direktur Polnam bukan sepenuhnya hak koreksi dan hak jawab menjadi domain Kejari Ambon,” herannya.
Meyske juga perlu meluruskan agar tidak membingungkan publik. Kemerdekaan Pers mesti tetap dijaga secara Absolut sesuai dengan Undang-undangnya dan Pers tidak dapat diintimidasi,” tutup pemilik nama Panjang Meyske Yunita Lainsamputty ini. (red)
Editor: RB. Syafrudin Budiman SIP