Prosiar, Jakarta – Hendardi Ketua Setara Institute mengatakan, Presiden Jokowi kita nilai sibuk berpolitik praktis. Sementara pencapaian visi-misi bernegara semakin jauh, setelah orkestrasi kampanye tiga periode untuk jabatan presiden gagal atau tertunda menjadi agenda politik nasional. Dimana proses dan tahapan Pemilu 2024 akan segera dimulai.
“Aktor-aktor politik telah dan akan terus berakrobat untuk memikat rakyat pemilih, hingga hari pencoblosan tiba. Bukan hanya elit politik di luar pemerintahan, para menteri Kabinet Jokowi juga memainkan peran politik sama,” kata Hendardi kepada media, Kamis (15/06/2022) di Jakarta.
Menurutnya, dalam waktu lebih kurang 2 tahun kedepan, rakyat akan disuguhi sirkus politik yang nyaris tidak menyentuh kepentingan utama warga
negara. Di tahun politik seperti ini, seorang presiden, sebagai pemimpin nasional yang dipilih
langsung oleh rakyat diuji integritasnya untuk tetap memimpin pencapaian misi bernegara.
“Presiden harus melindungi hak-hak warga negara, memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan warga melalui berbagai program pembangunan yang telah dicanangkan,” ujar Hendardi.
Advokat senior ini juga menyatakan, sangat memprihatinkan ketika Presiden Jokowi justru menjadi sentrum kegaduhan politik yang mengganggu pencapaian misi bernegara. Setelah melalui tangan para pembantunya menjajakan gagasan 3 periode.
“Jokowi aktif menghadiri acara-acara kebulatan tekad dari berbagai kalangan, yang pada intinya meletakkan Jokowi sebagai praktisi politik yang tidak mencerminkan sikap kenegarawanan. Jokowi bahkan tampak menikmati keriuhan yang digelar Projo, HIPMI, bahkan di perayaan Hari Lahir Pancasila, di NTT, dengan melempar berbagai term ‘ojo kesusu’, ‘ojo dumeh’ dan lain sebagainya,” jelas Hendardi panjang lebar.
Kata dia, obsesi Jokowi untuk menunjuk suksesor dirinya, yang oleh sejumlah pihak diarahkan
pada Ganjar Pranowo telah mengikis kewibawaan lembaga kepresidenan. Apalagi calon
suksesor itu belum teruji kepemimpinannya dalam menyejahterakan rakyat.
“Justru di tengah kontestasi semacam ini presiden seharusnya menjadi solidarity maker, mengefektifkan kepemimpinan dan menjadi wasit yang adil. Kesibukannya menjalani profesi sebagai politikus mengakibatkan agenda-agenda
pemerintahan Jokowi juga diabaikan para menteri-menterinya,” tambah Hendardi.
Sementara itu kebijakan-kebijakan baru yang diatur dengan regulasi presiden seperti Inpres No. 4/2022 tentang Percepatan Penanganan Kemiskinan Ekstrem, PP No. 23/2022 tentang Perubahan PP
45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan, justru
semakin menggambarkan paradoks kepemimpinannya.
“Program percepatan kemiskinan sulit dijalankan karena ego sektoral para menteri yang tidak bisa didisiplinkan Jokowi. Pendekatan penanganan kemiskinan juga sering berupa giat karitatif dalam bentuk bantuan-bantuan yang tidak akuntabel tanpa menyentuh aspek substantif akar kemiskinan, yakni ketidakadilan akses sumber daya, ketidakadilan akses atas tanah, ketidakadilan akses perbankan dan lain sebagainya,” tandas Hendardi.
Sementara terkait PP 23/2022, Jokowi salah satunya melarang direksi BUMN mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau calon anggota legislatif. Presiden tidak memahami bahwa membatasi hak asasi manusia itu harus berdasarkan UU.
“Di sisi lain, justru Jokowi membiarkan para komisaris BUMN yang terus berpolitik. Bahkan juga membiarkan Menteri BUMN terus menerus mempromosikan dirinya sebagai calon presiden dengan berbagai instrumen milik negara. Sementara Jokowi tidak berbuat apa-apa atas aspirasi yang menentang politisasi pengisian penjabat kepala daerah, agar sejalan dengan amanat Mahkamah Konstitusi,” kritik Hendardi menutup peryataan sikap Setara Institute. (red)
Penulis: RB. Syafrudin Budiman SIP