Oleh: Aznil Tan
Bendahara Negara Sri Mulyani bilang bahwa anggaran subsidi energi Indonesia mencapai Rp502,4 Triliun. Anggaran inilah digunakan untuk menahan kenaikan harga BBM, listrik dan gas LPG.
Sri Mulyani memberikan ilustrasi, jika dana Rp502,4 Triliun digunakan untuk membangun Rumah Sakit Kelas Menengah bisa sebanyak 3,333 unit atau membangun Sekolah Dasar 227.876 unit atau membangun ruas jalan tol bisa sepanjang 3.501 KM atau bisa membangun Puskesmas 41.666 unit.
Dia bilang, ini hanya memberikan _sense of magnitude_ bahwa angka ini sangat besar dan sangat real, dan ini tidak cukup, akan terus bertambah lagi. Berpotensi akan bertambah sebesar Rp195,6 Triliun.
Anggaran subsidi sebesar Rp502,4 Triliun ini disebabkan karena trend kenaikan harga minyak dan jumlah volume konsumsi masyarakat terus bertambah.
Untuk menyakinkan publik, Bendahara Negara ini mengunakan komunikasi sentimen si-kaya dan si-miskin. Bahwa subsidi tersebut hanya dinikmati orang kaya.
Dia bilang bahwa dana Rp502,4 Triliun sama saja dengan negara memberikan subsidi kepada mereka yang tidak berhak. Maka sebab itu, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk membuat kebijakan yang mendorong konsumsi Pertalite dan Solar bisa tepat sasaran.
_*Benarkah demikian ?*_
Bagi saya tidak ada yang salah dan tidak ada juga yang benar. Ini adalah pilihan. Karena menyangkut negara demokrasi, silahkan rakyat memilih.
Yang saya kritik adalah teknik komunikasi dan pembodohan publik. Sebab Sri Mulyani atau pejabat publik lainnya tidak memberikan ilustrasi, apa keuntungan rakyat jika dana Rp502,4 Triliun tetap dipertahankan untuk menahan kenaikan harga BBM, listrik dan gas LPG.
Sri Mulyani bisa bikin ilustrasi, saya pun bisa juga bikin ilustrasi untuk anti tesisnya. Apa kerugian rakyat jika subsidi dicabut?
Sudah menjadi hukum pasar jika kenaikan BBM, listrik dan gas LPG membawa _multiplier effect._ Ini akan diikuti kenaikan harga dimana-mana. Maka tak hayal terjadi inflasi yang membebani seluruh rakyat Indonesia.
Jika terjadi kenaikan 10% dari rata-rata biaya hidup penduduk Indonesia sebesar Rp 5.580.037 per bulan (Survei Biaya Hidup diadakan oleh BPS 2012), maka berarti terjadi pembengkakan biaya hidup per kapita sebesar Rp558.000 per bulan.
Dari 275,77 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia 2022 (Data BPS) maka total pembengkakan biaya hidup dari seluruh rakyat Indonesia adalah Rp153,88 Triliun per bulan. Ini sama dengan Rp1.846,56 Triliun per tahun.
Ini juga _sense of magnitude_, bahwa angka ini sangat besar dan sangat real, dan ini akan berpotensi terus bisa bertambah. Karena kenaikan BBM, listrik dan gas LPG selalu diikuti kenaikan harga-harga lain yang tidak rasional. Contoh, harga BBM hanya naik 5% persen tetapi harga barang lainnya bisa naik mencapai 20%.
Diperkirakan bisa mencapai Rp2.500 Triliun terjadi pembengkakan biaya hidup rakyat jika kenaikan BBM, listrik dan gas LPG lebih dari 10%.
Angka ini jauh lebih besar dari dana subsidi BBM, listrik dan gas LPG sebesar Rp 502,4 Triliun atau katakanlah Rp600 Triliun.
Rp1.846,56 Triliun per tahun terjadi pembengkakan biaya hidup rakyat akibat kenaikan harga-harga barang. Sedangkan, negara cuma rugi Rp600 triliun, sebagai bentuk negara hadir menyelamatkan ekonomi rakyatnya.
Sekarang tinggal pilih! Cabut subsidi Rp502,4 Triliun atau cegah pembengkakan biaya hidup rakyat Rp1.846,56 Triliun?
Salam Merdeka 💯%