Relawan Prabowo dan Tantangan Akomodasi Politik di Era Transisi
Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tengah menghadapi dinamika politik yang unik. Koalisi besar yang mengusungnya, Koalisi Indonesia Maju (KIM), terdiri dari berbagai partai dengan kepentingan masing-masing. Dalam perjalanan 100 hari pertama, muncul wacana bahwa simpul relawan Prabowo belum sepenuhnya terakomodir seperti yang terjadi pada era pemerintahan Jokowi.
Jika menengok ke belakang, pemerintahan Jokowi berhasil membangun basis kekuatan politiknya di akar rumput melalui relawan yang loyal. Para relawan ini mendapat tempat strategis dalam pemerintahan, menjadikannya pagar hidup yang melindungi Jokowi dari tekanan politik elit. Namun, di era Prabowo, belum terlihat pola yang sama. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah ada skenario yang secara sistematis membatasi peran relawan Prabowo dalam pemerintahan?
Salah satu kemungkinan adalah bahwa Prabowo saat ini tengah menghadapi tekanan politik dari berbagai pihak, termasuk dari koalisi besar yang menaunginya. Berbeda dengan Jokowi yang sejak awal memiliki kendali penuh atas relawan, Prabowo berangkat dari gabungan kekuatan politik yang lebih luas, di mana setiap partai memiliki kepentingan untuk mengamankan porsi kekuasaan. Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika ada keterbatasan dalam mengakomodasi militansi relawan Prabowo.
Selain itu, kehadiran Jokowi dalam dinamika pemerintahan Prabowo juga menjadi faktor penting. Jokowi, dengan jaringan politik dan simpul relawan yang sudah terbangun kuat, tampaknya masih memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan baru. Relawan-relawan Jokowi yang sebelumnya berperan aktif dalam pemerintahan kini kembali mendapatkan tempat, menciptakan kesan bahwa ada upaya untuk mempertahankan eksistensi politik mereka.
Namun, kita juga harus mempertimbangkan sudut pandang lain. Bisa jadi, Prabowo memang memiliki visi yang berbeda dalam membangun pemerintahannya. Alih-alih hanya mengakomodasi relawan dengan pola lama, ia mungkin ingin menciptakan keseimbangan antara kepentingan partai, relawan, dan profesional dalam kabinetnya. Jika benar demikian, maka yang perlu ditunggu adalah bagaimana strategi Prabowo dalam jangka panjang untuk menjaga loyalitas pendukungnya tanpa mengorbankan stabilitas politik nasional.
Apapun yang terjadi, simpul relawan Prabowo harus tetap aktif dan solid dalam mendukung pemerintahan ini. Jika militansi mereka tidak terakomodir dalam 100 hari pertama, bukan berarti perjuangan berakhir. Relawan harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika politik yang berkembang sambil terus mengawal visi besar Prabowo untuk membangun Indonesia yang lebih kuat.
Indria Febriansyah
Ketua Umum Kabeh Sedulur Tamansiswa Indonesia